Kejari Jaksel Takut Eksekusi Silfester Matutina?

Abadikini.com, JAKARTA – Vonis 1,5 tahun penjara terhadap Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), Silfester Matutina, sudah inkrah. Artinya, tak ada alasan hukum untuk menunda eksekusi. Namun, entah mengapa, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel) belum melakukan eksekusi atas vonis tersebut sampai detik ini.
Komisi Kejaksaan (Komjak) sampai angkat suara, mengingatkan bahwa putusan kasasi yang sudah berkekuatan hukum tetap wajib dieksekusi, meski terpidana mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
“Itu sudah inkrah. Jadi harus dieksekusi. Kalau nunggu PK, ini preseden buruk. Nanti semua terpidana bisa meniru, minta eksekusi ditunda sambil nunggu PK,” tegas Komisioner Komjak, Nurokhman, Selasa (12/8/2025).
Komjak berencana mendatangi Kejari Jaksel untuk menanyakan alasan di balik kelambatan ini. “Semoga segera dieksekusi,” ujarnya.
Kejaksaan Agung (Kejagung) sebenarnya seirama. Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, menegaskan PK tidak menunda eksekusi. Namun, ia langsung mengoper tanggung jawab ke Kejari Jaksel.
“Itu kewenangan Kejari Jakarta Selatan. Silakan cek ke PN Jakarta Selatan apakah PK sudah masuk dan ditembuskan ke Kejaksaan,” katanya, Senin (11/8).
Kasus yang Menguap di Tengah Jalan
Kasus Silfester bermula pada 2017, saat ia dilaporkan Solihin Kalla putra mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla atas dugaan fitnah. Dalam orasi yang videonya viral, Silfester menuding JK memainkan isu SARA untuk memenangkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno di Pilkada DKI Jakarta.
Ia dijerat Pasal 310 dan 311 KUHP, serta Pasal 27 dan 28 UU ITE. Pengadilan menjatuhkan vonis 1 tahun penjara pada 30 Juli 2018, dikuatkan di tingkat banding pada 29 Oktober 2018. Namun di tingkat kasasi, hukuman diperberat menjadi 1 tahun 6 bulan. Putusan itu final dan mengikat.
Tapi anehnya, sejak putusan kasasi keluar, eksekusi menguap. Tak ada kurungan, tak ada borgol, tak ada pengawalan ke penjara. Yang ada hanyalah alasan dan penundaan.
Privilege Hukum atau Kelalaian
Pertanyaan publik kini menggantung apakah ini sekadar kelalaian birokrasi, atau memang ada “tameng” yang membuat Silfester kebal eksekusi. Sebab di Indonesia, publik sudah terlalu sering melihat hukum tumpul ke kawan, tajam ke lawan.
Jika terpidana rakyat biasa, vonis inkrah sudah cukup untuk langsung digiring ke sel tahanan. Tapi ketika menyentuh figur publik dengan jaringan luas, hukum tiba-tiba berjalan pelan, bahkan terkesan macet.
Publik berhak curiga. Sebab bila kasus ini dibiarkan, pesan yang sampai jelas di negeri ini, hukum bisa dinegosiasi asal punya kedekatan, akses, dan pengaruh.
Kini, mata publik menatap Kejari Jaksel. Apakah mereka berani mengeksekusi Silfester Matutina sesuai putusan pengadilan, atau memilih diam dan membiarkan kasus ini menjadi simbol telanjang lemahnya penegakan hukum di Indonesia.