Ketika Aset Daerah Bisa Bicara: Tolong Kelola Aku, Jangan Jual Aku Demi Defisitmu!
Oleh: Fariz Maulana Akbar (Penulis adalah Direktur Jaringan Rakyat untuk Demokrasi Sehat dan Bermartabat)

Abadikini.com, JAKARTA – Bayangkan jika aset daerah bisa bicara. Mungkin dia akan menatap kita sambil berbisik penuh drama, “Tolong kelola aku… Jangan jual aku demi menutup defisitmu. Aku ini bukan mobil bekas yang bisa kau lepas di OLX.”
Tapi sayang, aset tidak bisa bersuara. Yang bisa bicara hanya mereka yang duduk di kursi empuk pemerintahan. Dan kalimat favoritnya? “Tenang, ini sesuai prosedur!” Kalimat pamungkas yang selalu terdengar manis, sampai Anda sadar prosedur bukan jaminan moral.
Menjual aset daerah bukan perkara jual beli biasa. Ini bukan jualan nasi kuning atau gorengan di halaman rumah. Ini soal martabat sebuah daerah. Ketika sebuah aset berpindah tangan, ia membawa serta nilai strategis, potensi pendapatan, dan tentu saja, harga diri daerah itu sendiri.
Legal? Bisa jadi. Tapi legalitas bukan lisensi untuk abai pada akhlak kebijakan. Legalitas tanpa moralitas hanyalah formalitas. Dan formalitas inilah yang sering jadi alasan, “Asal sesuai aturan, ayo jalan.” Padahal rakyat butuh jawaban: mengapa dijual? Untuk siapa manfaatnya? Dan, pertanyaan paling getir, apakah kita akan menjual yang lain setelah ini?
Saya tidak menolak penjualan aset. Asal jelas tujuannya, terbuka prosesnya, dan rakyat merasakan manfaatnya. Tapi kalau hanya untuk menutup defisit anggaran, maaf, itu sama saja menggadaikan masa depan untuk beli bensin hari ini.
Untuk DPRD yang terhormat, mohon jangan jadi stempel bersuara. Tugas Anda menimbang, bukan sekadar mengangguk lebih cepat daripada orang membaca doa makan. Kalau hanya mengamini tanpa kaji, ya apa bedanya dengan tanda tangan di kertas kosong?
Kebijakan publik harus punya logika, bukan sekadar lobi-lobi. Dan ingat, jual aset daerah bukan obral akhir tahun.
Lebih Bijak Dikelola dengan Cerdas
Kalau bicara aset daerah di Jakarta, ini bukan sekadar tanah dan bangunan. Ini adalah harta karun yang, jika dikelola benar, bisa jadi mesin uang abadi untuk daerah. Jadi, mengapa harus buru-buru menjual?
Bayangkan kalau aset itu disulap jadi Pusat Promosi Sangihe, promosikan budaya, kuliner, dan pariwisata. Tentu Sangihe akan tampil gagah di ibu kota. Bisa juga jadi kantor perwakilan daerah yang produktif, bahkan dilengkapi ruang kerja bersama untuk UMKM Sangihe yang mau tembus pasar Jakarta. Hebat, kan?
Belum cukup? Jadikan hotel atau guest house daerah. Semua pejabat yang datang ke Jakarta bisa menginap di situ. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui: hemat biaya perjalanan dan menambah pendapatan asli daerah (PAD).
Kalau mau lebih kreatif, buat kerja sama bisnis. BOT (Build Operate Transfer), misalnya, biarkan investor bangun, kelola sekian tahun, lalu aset kembali ke daerah. Pemerintah dapat untung, rakyat dapat manfaat, dan yang terpenting, aset tetap jadi milik daerah.
Intinya sederhana: aset ini jangan dijual untuk tambal sulam anggaran. Kelola dengan cerdas, hasilnya bisa jauh lebih besar daripada angka yang kita bayangkan sekarang. Ingat, sekali aset strategis lepas, sulit untuk kembali.
Jadi, sebelum meneken surat jual beli, mari tanyakan satu hal: apakah kita sedang menyelamatkan keuangan daerah, atau justru sedang menjual masa depan kita sendiri?
Tapi kalau memang sudah mentok dan harus dijual, pastikan satu hal: legalitas wajib, moralitas harus ada, dan keberpihakan serta kebermanfaatan untuk rakyat harus di atas segalanya.