Putusan MK Beri Jeda Pemilu: Bawaslu Sambut Baik Kesempatan Tingkatkan Kualitas Pengawasan

Abadikini.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan adanya jeda waktu dalam model keserentakan pemilihan umum (pemilu) melalui perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024. Keputusan ini disambut baik oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), yang melihatnya sebagai peluang emas untuk meningkatkan kualitas pengawasan pemilu di masa mendatang.
Waktu Jeda 2 Tahun Beri Kelonggaran Persiapan
Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja, menjelaskan bahwa jeda waktu 2 hingga 2,5 tahun antara pelaksanaan pemilu tingkat nasional dan daerah memberikan ruang yang lebih leluasa bagi Bawaslu untuk mempersiapkan tugas dan fungsi pengawasan secara lebih mantap.
“Kami [memang juga] mengusulkan [adanya] jeda. Kalau dengan dua tahun [jedanya] maka yang namanya tahapan pemilu dua tahun sebelumnya sudah berjalan. Pilkada itu sama,” ujar Bagja dalam siaran ulang diskusi Koalisi Pewarta Pemilu dan Demokrasi (KPPD), Sabtu, 12 Juli 2025.
Bagja menegaskan bahwa respons Bawaslu terhadap Putusan MK 135/2024 tidak terkait isu adhoc jajaran di tingkat kabupaten/kota, melainkan berfokus pada peningkatan kualitas pengawasan pemilu secara menyeluruh.
“Kami tidak bicara adhoc atau non adhoc. Ini soal Pemilu Serentak ada 5 kotak, kemudian apa evaluasinya? Kualitas penyelenggaraan pemilu. Alangkah baiknya punya putusan yang baik,” tambahnya.
Tahapan Ideal dan Dampak Positif Jeda Pemilu
Anggota Bawaslu RI dua periode itu menjabarkan bahwa masa tahapan pemilu maupun pilkada idealnya dilaksanakan 2 tahun sebelum hari pencoblosan. Hal ini penting mengingat banyaknya aspek yang harus dipersiapkan penyelenggara pemilu, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“KPU juga harus ngurus logistik kalau kampanye ruang [waktunya] agak sempit. Makanya di 2024, kekosongan waktu. Pemilu tidak hanya voting day. Ada tahapan panjang soal pemutakhiran data pemilih, persiapan perencanaan, evaluasi,” urainya.
Bagja menambahkan, pengalaman Pemilu 2024 menunjukkan adanya irisan tahapan dengan Pilkada yang membuat dinamika politik berjalan sangat cepat dan partai politik kesulitan melakukan konsolidasi.
Calon doktor politik Universitas Andalas itu meyakini bahwa alasan MK memberikan jeda 2 hingga 2,5 tahun antara pemilu nasional dan daerah sudah sesuai, mengingat dampak yang dapat disaksikan publik akibat keserentakan pilpres, pileg DPR RI, DPD RI, serta DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
“Mau tidak mau harus calon mana. Ini juga membuat parpol tergesa-gesa. Pemilih kemudian tenggelam selama satu tahun memilih dari Februari-November, belum lagi PSU [pemungutan suara ulang] juga memilih, tanpa melihat siapa yang harus dipilih dengan satu hari pemungutan suara,” ungkapnya.
Karenanya, Bagja melihat banyak efek positif dari Putusan MK 135/2024 jika diterapkan pada pelaksanaan pesta demokrasi selanjutnya, termasuk bagi Bawaslu. “Dengan itu maka desain keserentakan harus efisien, dan sudah sejak dulu satu kitab undang-undang pemilu yaitu parpol, pemilu, dan pilkada atau kodifikasi. Maka desain ruang hukum menjadi lebih baik lagi,” ucapnya.
“Kami punya waktu evaluasi sebelum pilkada dimulai. Karena jeda ada itu penyelenggara pemilu harusnya lebih baik dalam siapkan pemilu,” pungkas Bagja.