“Empat Pulau, Dua Daerah, Satu Bangsa: Mencari Jalan Tengah dalam Sengketa Tapal Batas”
Oleh: Fariz Maulana Akbar Peneliti Pemerhati Masalah Khusus Indonesia (Hatikhu Indonesia)

Abadikini.com, JAKARTA – “Bangsa bukan sekadar kumpulan individu, melainkan makhluk moral kolektif dengan kehendaknya sendiri.” Jean-Jacques Rousseau, “The Social Contract” (1762).
Polemik soal kepemilikan empat pulau, yaitu Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang, di perbatasan Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, tak bisa dibaca sekadar persoalan tapal batas administratif. Ia adalah ujian terhadap arah kekuasaan nasional, memori luka sejarah Aceh, dan ketegangan antarjaringan elite politik nasional.
Di permukaan, ini tampak seperti sengketa teknis antara dua provinsi. Namun jika kita tarik ke lapisan sosial-politik yang lebih dalam, ada tiga aktor besar yang menjalin garis tarik-menarik: Muzakir Manaf yang akrab disapa Mualem, tokoh Partai Aceh dan mantan panglima GAM; Bobby Nasution, Gubernur Sumut yang juga menantu Presiden Jokowi; serta Tito Karnavian, Mendagri yang dikenal sebagai loyalis Jokowi.
Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto berdiri di tengah silang jaringan kekuasaan ini. Di satu sisi, Mualem adalah sahabat lamanya sejak era konflik Aceh, ketika Prabowo masih di militer. Di sisi lain, Bobby dan Tito adalah dua wajah dari jejaring kekuasaan era Jokowi yang masih kuat di birokrasi nasional.
Politik Jaringan dan Perebutan Pengaruh
Teori jaringan sosial mengajarkan kita bahwa kekuasaan tak hanya soal posisi, tetapi juga soal relasi. Dalam konteks ini, ketiga aktor memiliki simpul-simpul kuasa yang berbeda: Mualem membawa memori kolektif perjuangan Aceh; Bobby membawa warisan dinasti politik Jokowi; dan Tito mengontrol instrumen negara melalui Kemendagri.
Sengketa ini menjadi ruang kontestasi, bukan hanya soal siapa punya hak atas pulau, tapi juga siapa yang lebih berpengaruh di istana: sahabat lama Prabowo dari Aceh atau sekutu baru yang dinilai sukses mengantarkan kemenangan di Pilpres dan sampai saat ini masih bertahan dengan jejaring politiknya di bawah permukaan.
Luka Lama dan Potensi Separatisme
Tak bisa dipungkiri, Aceh menyimpan sejarah panjang relasi yang luka dengan Jakarta. MoU Helsinki 2005 memang menutup babak konflik bersenjata, tapi luka sosial dan identitas masih membekas. Sengketa wilayah seperti ini mudah menyulut kembali bara yang belum padam.
Jika pemerintah pusat tidak berhati-hati, narasi “Aceh kembali dirampas” bisa tumbuh menjadi bahan bakar baru bagi kelompok-kelompok yang kecewa. Di sinilah politik identitas dan potensi separatisme bisa menjelma kembali dalam bentuk yang lebih tersirat: protes administratif yang dibungkus harga diri daerah.
Jalan Tengah Berbingkai Nasionalisme
Dalam kondisi seperti ini, Jakarta harus cerdas mengelola tensi. Prabowo punya beban moral dan historis terhadap Aceh, dan sekaligus tantangan untuk menjaga stabilitas di bawah bayang-bayang warisan kekuasaan Jokowi.
Daripada menyerahkan sepenuhnya ke mekanisme teknokratis birokrasi, lebih baik dibentuk forum mediasi khusus yang melibatkan unsur adat, akademisi, ahli sejarah dan tokoh masyarakat dari kedua provinsi. Pendekatan yang mengedepankan dialog, transparansi, keadilan dan historis akan jauh lebih sehat ketimbang memaksakan keputusan melalui jalur administratif semata.
Jika nasionalisme ingin tetap hidup sebagai kekuatan penyatu, maka ia harus membuka ruang bagi kehendak moral kolektif setiap daerah. Seperti kata Rousseau, bangsa adalah makhluk kolektif yang memiliki kehendaknya sendiri. Dan kehendak itu tidak bisa direduksi semata oleh garis peta atau keputusan birokrasi.
Karena pada akhirnya, sengketa ini bukan sekadar soal garis di peta, tetapi juga soal rasa keadilan, identitas, dan rasa dihargai sebagai bagian utuh dari Indonesia.