Iran Siap Hentikan Serangan jika Israel Berhenti Menyerang

Abadikini.com, JAKARTA – Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menyatakan kesiapan negaranya untuk menghentikan serangan terhadap Israel. Syaratnya, Tel Aviv juga harus menghentikan serbuannya terhadap Teheran. Pernyataan ini disampaikan Araghchi di hadapan para duta besar asing di Teheran pada Minggu (15/6), di tengah memanasnya konflik antara kedua negara.
Araghchi menegaskan bahwa perang ini “dipaksakan” kepada Iran, dan Teheran tidak punya pilihan selain merespons. “Pertahanan kami sepenuhnya sah dan akan dilakukan dengan kekuatan, semata-mata sebagai respons atas agresi. Jika serangan dihentikan, aksi balasan Iran juga akan berakhir,” ucap Araghchi.
Ketegangan antara Iran dan Israel telah meningkat tajam setelah serangkaian serangan. Serangan udara terkoordinasi militer Zionis pada sejumlah lokasi di Teheran, termasuk fasilitas militer dan nuklir, pada Jumat (13/6), segera dibalas Iran dalam hitungan jam. Pada Sabtu (14/6) malam, Iran meluncurkan gelombang kedua operasi True Promise 3, yang menyasar fasilitas ekonomi dan industri di kota pelabuhan Israel, Haifa. Israel membalas dengan menyerang Kementerian Pertahanan dan depot minyak di Teheran.
Konflik ini telah memakan korban jiwa, dengan Iran melaporkan 78 orang tewas pada hari pertama serangan Israel, dan puluhan lainnya, termasuk anak-anak, menjadi korban pada hari kedua. Konflik ini juga menyebabkan terhentinya negosiasi nuklir tidak langsung antara Iran dan AS yang dimediasi Oman, yang putaran keenamnya seharusnya dijadwalkan pada Minggu ini di Muscat.
Keterlibatan AS dan Negosiasi Nuklir yang Terhambat
Araghchi secara terang-terangan menuduh agresi Israel tidak mungkin terjadi tanpa koordinasi dan dukungan dari Amerika Serikat. Hal ini, menurutnya, menjadi salah satu alasan utama kegagalan pembicaraan nuklir. Ia mengklaim Iran memiliki “bukti kuat dan meyakinkan” bahwa pasukan dan pangkalan militer AS di kawasan telah mendukung serangan Israel.
Menlu Iran itu mengutip pernyataan Presiden AS Donald Trump yang mengatakan bahwa serangan “tidak mungkin terjadi tanpa peralatan Amerika”, dan mengisyaratkan akan ada “tahapan selanjutnya” sebagai bukti tambahan atas keterlibatan AS.
Terkait bantahan AS soal keterlibatannya dalam serangan Israel terhadap fasilitas nuklir Natanz di Provinsi Isfahan, Araghchi menyatakan bahwa Iran menolak klaim tersebut karena ada “bukti yang saling bertentangan”. “Jika AS benar-benar tidak terlibat, seharusnya AS mengutuk serangan ini secara tegas dan terbuka,” katanya, menambahkan bahwa pesan-pesan tertutup tidak cukup.
Ia juga mendesak komunitas internasional untuk mengakui pelanggaran hukum internasional yang dilakukan Israel. Araghchi menuding Israel telah “berulang kali menyabotase negosiasi nuklir”, termasuk insiden sabotase di fasilitas pengayaan Natanz pada 2020 saat berlangsungnya pembicaraan Wina untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015. Iran merespons insiden tersebut dengan meningkatkan pengayaan uranium hingga 60 persen dan mengganti sentrifugal yang rusak dengan model yang lebih canggih.
Meskipun mengalami berbagai provokasi, Araghchi menegaskan bahwa Iran tetap mengikuti negosiasi dengan AS secara itikad baik, bahkan telah melakukan lima putaran pembicaraan dan menyiapkan usulan tandingan untuk menjembatani perbedaan guna mencapai kesepakatan. Namun, ia menegaskan bahwa Israel tetap menentang setiap kesepakatan nuklir dan aktif berupaya menggagalkan jalur diplomasi.
Sebagai tanggapan atas serangan terbaru terhadap Natanz, Iran secara resmi meminta Badan Energi Atom Internasional (IAEA) untuk menggelar sidang luar biasa, menyebut serangan Israel itu sebagai “garis merah” dalam hukum internasional yang kini telah dilanggar.