Kisah Jurnalis Rusia Kunjungi Banyak Kamar Mayat demi Cari Bukti Objektif Perang di Ukraina

Abadikini.com, JAKARTA – Saat reporter Rusia Lilia Yapparova mulai meliput perang di wilayah Ukraina, ia mengira akan disambut dengan permusuhan. Tetapi sebaliknya, orang-orang Ukraina yang ditemuinya justru menunjukkan kebaikan hati mereka.

“Jujur, saya terkejut karena orang-orang menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk membantu saya,” ujar Yapparova yang bekerja untuk media independen Rusia, Meduza.

Yapparova diketahui berada di Ukraina sejak beberapa hari sejak perang dimulai.

“Padahal, mereka berhak bilang tidak dan menolak saya,” imbuhnya, seperti dilaporkan The Moscow Times, via kompas tv, Selasa (26/4/2022).

Kendati adanya penindakan keras terhadap media di Rusia, sejumlah jurnalis independen Rusia terus bekerja tak kenal lelah melaporkan peperangan yang terjadi di Ukraina.

Selain mewawancarai Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, mereka telah mengirimkan kabar berita dari medan perang di selatan dan utara Ukraina.

Mereka mendokumentasikan bukti pembunuhan massal, pemerkosaan dan penjarahan oleh tentara Rusia di sejumlah kota dan desa dekat Kiev.

“Orang-orang membantu saya,” ujar Elene Kostyuchenko, jurnalis harian Novaya Gazeta yang tiba di Ukraina pada hari kedua perang.

“Ada orang-orang yang membawakan saya rompi antipeluru dan helm sejauh 25 kilometer. Ada orang-orang yang membantu mencarikan saya tempat tinggal. Dan ada orang-orang yang membantu editor saya mengirimkan uang dan obat-obatan pada saya,” urai Kostyuchenko.

Selain meliput perang di kota Lviv di barat Ukraina, Kostyuchenko juga bekerja di kota pelabuhan Odesa dan kota Mykolaiv yang hancur di selatan Ukraina.

Perjalanan liputannya yang paling berbahaya adalah saat ia menyeberangi garis depan menggunakan mobil untuk mencapai Kota Kherson yang diduduki Rusia.

Masa Depan Tak Pasti Pers Independen Rusia

Namun, meski jurnalis seperti Kostyuchenko ditugaskan meliput di Ukraina, media tempat mereka bekerja di Rusia menghadapi masa depan yang tak pasti.

Laporan Kostyuchenko awalnya disensor oleh medianya sendiri, Novaya Gazeta. Harian itu menghapus kata ‘perang’ dalam artikel Kostyuchenko demi mematuhi undang-undang Rusia yang mengancam jurnalis yang menyebarkan ‘berita palsu’ dengan penjara 15 tahun.

Novaya Gazeta juga menghapus beberapa artikel Kostyuchenko dari situs web-nya atas permintaan regulator komunikasi Rusia, Roskomnadzor.

Akhirnya, Novaya Gazeta mengumumkan penangguhan operasional cetak dan daringnya hingga perang berakhir.

Media Yapparova, Meduza, diblokir di Rusia sesaat setelah invasi dimulai, dan kini hanya bisa diakses dengan VPN atau Virtual Private Network.

Yapparova meliput dari Chernihiv sebelum kota itu dikepung tentara Rusia, dan dari desa-desa di dekat Kiev. Di sana, ia menemukan bukti penjarahan, pemerkosaan dan eksekusi yang dilakukan tentara Rusia.

Kendati sensor media terus meningkat di Rusia, berbicara dengan jurnalis independen merupakan salah satu dari sedikit cara yang digunakan para pejabat Ukraina untuk dapat berkomunikasi secara langsung dengan audiens Rusia.

Pasalnya, audiens Rusia sebagian besar menerima berita dari media yang dikendalikan pemerintah.

Bulan lalu, Zelensky bersedia melakukan wawancara video dengan sejumlah jurnalis Rusia, termasuk dari Meduza dan Mediazona.

Kamar Mayat, Bukti Objektif Korban Perang

Mereka yang bekerja di lapangan untuk media Rusia, menghadapi risiko dan kengerian yang sama seperti yang dihadapi reporter perang Ukraina maupun asing.

“Saya mengunjungi banyak kamar mayat,” kata Kostyuchenko seraya mengimbuhkan, “Di kamar mayat, kau bisa mendapat informasi objektif tentang perang.”

“Saat saya mendatangi kamar mayat di Mykolaiv, saya melihat tumpukan mayat. Saat saya membuka pintu ke ruangan lainnya, ada lebih banyak mayat, termasuk anak-anak. Di gudang di luar, ada mayat-mayat juga. Dan sejumlah mayat juga bergelimpangan di halaman,” paparnya.

Oksana Baulina, 42 tahun, seorang jurnalis Rusia dari The Insider, tewas bulan lalu akibat serangan Rusia saat bertugas merekam kehancuran di distrik Podil di Kiev.

Ia satu dari setidaknya 20 jurnalis yang tewas dalam perang, menurut pejabat Ukraina.

Lebih dari sebulan berada di Ukraina, Yapparova menggambarkan perasaannya dengan istilah ‘campuran kelelahan fisik, emosional dan mental’.

Namun, ia tak punya rencana meninggalkan negara itu.

“Bersamaan dengan perang terhadap Ukraina, perang terhadap pers independen (di Rusia) juga tengah berlangsung. Dan saya tak tahu bagaimana semua ini akan berakhir. Tetapi saya tak siap untuk mengubur pers independen di Rusia. Saya tak akan melakukannya,” katanya mantap.

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker