PB HMI Minta Evaluasi Total HGU Perusahaan Asing di Sumatera
Abadikini.com, JAKARTA – Pemerintah didesak untuk segera mengevaluasi pemberian Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan sawit yang beroperasi di Provinsi Sumatera Utara dan Aceh. Desakan ini datang dari Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Alwi Hasbi Silalahi, yang menyoroti sejumlah masalah, termasuk proses pembaruan HGU PT Socfindo.
Alwi Hasbi Silalahi secara tegas meminta Presiden untuk menunda dan mengevaluasi seluruh rekomendasi pembaruan HGU PT Socfindo, mengingat situasinya dinilai serius dan menyangkut keadilan masyarakat.
“Situasinya sudah sangat serius dan menyangkut keadilan masyarakat. Kami meminta presiden menunda dan mengevaluasi seluruh rekomendasi pembaruan HGU PT Socfindo,” ujar Alwi dalam keterangan tertulisnya dikutip, Senin (1/12/2025).
Sinkronisasi RTRW dan Dugaan Kelebihan Lahan
PB HMI menyoroti dua masalah utama dalam perizinan lahan tersebut:
Ketidaksesuaian Tata Ruang: Alwi mengklaim batas HGU di Kebun Tanah Gambus dan Lima Puluh yang direkomendasikan Kanwil BPN Sumut tidak sinkron dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Batubara.
“Kalau batas HGU tidak sesuai RTRW, itu artinya proses perizinannya bermasalah. Ini melemahkan kepastian hukum dan jelas merugikan masyarakat,” tegasnya.
Kelebihan Lahan: PB HMI juga menyoroti adanya dugaan kelebihan lahan sekitar kurang lebih 600 hektare yang muncul pada rekomendasi pembaruan HGU, di mana selisih ini lebih besar dibandingkan sertifikat HGU tahun 1998.
Terkait kelebihan lahan, Alwi mempertanyakan transparansi pembayaran pajak perusahaan. “Kami mempertanyakan apakah perusahaan sudah membayar PBB atas kelebihan 600 hektare itu sejak 1998 hingga 2023? Ini harus diaudit secara terbuka,” katanya.
Usulan Pengalihan Aset ke BUMN Agrinas
Tidak hanya PT Socfindo, PB HMI juga mendesak Kejaksaan dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk memeriksa seluruh lahan perusahaan di Sumatera Utara dan Aceh.
Puncak dari tuntutan PB HMI adalah usulan radikal: pengalihan aset dan konsesi bagi perusahaan asing yang terbukti tidak pro-rakyat.
“Jika perusahaan asing tidak pro-rakyat, lebih baik aset dan konsesinya dialihkan kepada BUMN Agrinas agar dikelola negara,” pungkas Alwi.



