Mandat Ganda Rais ‘Aam–Ketum Dinilai Jadi Akar Kekacauan PBNU
Abadikini.com, JAKARTA – Ketegangan di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kembali mencuri perhatian publik. Di tengah hiruk-pikuk manuver elite, suara kritis datang dari tokoh muda NU, Nadirsyah Hosen, yang menilai bahwa kisruh berbulan-bulan ini adalah sinyal bahwa struktur kepemimpinan jam’iyyah sedang rapuh.
Menurut Nadir, persoalan utamanya terletak pada dualisme legitimasi antara Rais ‘Aam dan Ketua Umum—keduanya sama-sama dipilih melalui Muktamar. Formula ini, kata dia, membuat garis komando kabur dan seringkali berujung pada tarik-menarik kepentingan. “Ini tanda bahwa NU perlu disederhanakan,” ujarnya melalui unggahan di Instagram, Selasa (25/11/2025).
Ia mengusulkan perubahan mendasar pada mekanisme pemilihan pimpinan. Dalam skemanya, Muktamar cukup memilih Rais ‘Aam, sementara Ketua Umum ditunjuk langsung oleh Rais ‘Aam terpilih. Dengan begitu, tidak ada dua figur yang merasa sama-sama memiliki mandat Muktamar. “Syuriyah dan Tanfidziyah akan lebih solid. Ketua Umum bukan kutub tandingan, tetapi perpanjangan amanah Rais ‘Aam,” katanya.
Nadir juga menyinggung bahwa NU harus kembali pada tradisi kepemimpinan ulama, bukan pertarungan pengaruh yang melelahkan. Di luar ranah struktural, ia menyoroti sisi lain yang tak kalah penting: kemandirian ekonomi organisasi. Dan sorotan itu dimulai dari sesuatu yang sangat mendasar—cara NU menyelenggarakan Muktamar.
Baginya, Muktamar semestinya kembali ke format sederhana tanpa fasilitas mewah. “Tidak perlu tiket, tidak perlu sangu, tidak perlu fasilitas wah apalagi pesawat charter. Itu hanya memupuk loyalitas pragmatis dan membuka pintu kepentingan luar,” tegasnya.
Ia mendorong agar seluruh delegasi, dari PWNU hingga PCINU, hadir dengan biaya urunan internal. Muktamar harus menjadi arena musyawarah agama, bukan ajang kampanye atau kontestasi berbiaya tinggi. “Jika Muktamar bersih dari ongkos politik, kita bisa memilih pemimpin yang benar-benar pantas, bukan hanya yang mampu menutup biaya besar,” tambahnya.
Nadir mengingatkan bahwa NU dibangun dari kultur kesederhanaan para kiai kampung—melayani umat tanpa glamor dan tanpa transaksi. Menyederhanakan NU, menurutnya, bukan langkah mundur, tetapi cara mengembalikan jam’iyyah ke nilai-nilai awal. Dengan struktur yang tegas, manajemen rapi, dan ekonomi mandiri, NU dapat kembali menjadi kekuatan moral yang memberi arah bagi jamaah.
“NU terlalu besar untuk terus terseret kekisruhan dan kepentingan jangka pendek. Justru penyederhanaan inilah jalan untuk melangkah maju,” pungkasnya.



