Tolak Pemberian Gelar Pahlawan Untuk Soeharto, Tokoh Senior NU Ini Ingatkan Kejamnya Rezim Orde Baru Saat Para Kiai Dimasukkan ke Sumur
Abadikini.com, JAKARTA – Rencana pemerintah untuk menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, menuai gelombang penolakan. Salah satu suara keras datang dari KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus, Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yang menegaskan sikapnya tanpa tedeng aling-aling.
“Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” ujar Gus Mus, dilansir dari NU Online, Jumat (7/11/2025).
Gus Mus mengingat kembali pengalaman pahit para ulama dan warga Nahdlatul Ulama di masa kekuasaan Orde Baru. Menurutnya, banyak kiai dan tokoh pesantren yang menjadi korban perlakuan tidak adil hanya karena mempertahankan jati diri ke-NU-an mereka.
“Banyak kiai yang dimasukkan ke sumur, papan nama NU dilarang dipasang, dan kalau pun dipasang, sering dirobohkan oleh bupati-bupati. Adik saya sendiri, Kiai Adib Bisri, akhirnya keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar,” ungkapnya.
Bagi Gus Mus, memberi gelar pahlawan kepada Soeharto bukan hanya keliru secara moral, tetapi juga melukai ingatan kolektif para santri dan kiai yang pernah ditekan oleh rezim tersebut. Ia menilai, masih banyak tokoh bangsa dan ulama yang lebih layak dihormati tanpa perlu mengusulkan gelar apapun.
“Banyak kiai yang dulu berjuang untuk bangsa, tapi keluarganya tidak mau mengajukan gelar pahlawan karena takut amalnya berkurang di mata Allah. Mereka menjaga keikhlasan, menjauh dari riya’,” jelas pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin itu.
Gus Mus juga menyinggung sebagian kalangan NU yang mendukung rencana pemberian gelar kepada Soeharto. Dengan nada getir, ia menyebut dukungan semacam itu lahir dari ketidaktahuan terhadap sejarah kelam yang pernah dialami warga NU di masa Orde Baru.
“Orang NU kalau ikut-ikutan mengusulkan, berarti tidak ngerti sejarah,” tegasnya.
Bagi Gus Mus, perdebatan soal gelar pahlawan bukan semata urusan administratif, melainkan soal ingatan bangsa. “Kita tidak boleh melupakan sejarah,” ujarnya menutup.


