Dulu Dibanggakan, Kini Whoosh Jadi Beban Rakyat Yang Wajib Dibayar Selama 60 Tahun
Abadikini.com, JAKARTA – Proyek kereta cepat Jakarta–Bandung, yang kini dikenal dengan nama Whoosh, kembali menjadi sorotan. Bukan karena kecepatannya yang menembus 350 kilometer per jam, melainkan karena beban utang yang juga berlari sama cepatnya.
Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menyebut proyek warisan pemerintahan Jokowi itu memang sejak awal sarat persoalan. Mulai dari pembiayaan, dugaan pembengkakan biaya, hingga polemik pengalihan mitra kerja dari Jepang ke Cina yang tak pernah dijelaskan secara transparan. “Sejak awal proyek ini penuh kontroversi. Soal utang dan efisiensi biaya sudah menjadi perdebatan panjang,” ujarnya melalui kanal YouTube, Selasa (28/10/2025).
Menurut Adi, lonjakan jumlah penumpang Whoosh yang kini menembus jutaan orang tak otomatis membuat proyek ini untung. Pendapatan dari tiket belum mampu menutupi beban utang yang ditaksir mencapai sekitar Rp2 triliun per tahun. “Beban itu nyata, dan mau tidak mau tetap akan ditanggung negara,” katanya.
Polemik makin ramai ketika publik mulai membandingkan proyek Whoosh dengan kereta cepat milik Arab Saudi. Di sana, jarak tempuhnya lebih jauh, tetapi biaya pembangunannya jauh lebih rendah. Para pendukung Whoosh berdalih, kondisi geografis Indonesia lebih menantang: berbukit, bergunung, dan berkelok. Namun alasan itu tak cukup meredam kecurigaan publik tentang dugaan mark up biaya yang sempat disinggung Mahfud MD beberapa waktu lalu.
Proyek ini memang penuh paradoks. Di satu sisi, Whoosh menjadi simbol kemajuan transportasi modern Indonesia. Di sisi lain, kemegahannya menimbulkan pertanyaan serius: siapa yang sebetulnya menikmati hasilnya, dan siapa yang menanggung risikonya?
Pemerintah kini mencoba menjaga jarak. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tidak ingin membayar utang proyek itu dengan dana APBN. Namun publik tahu, setiap utang negara pada akhirnya tetap bermuara ke kas publik dan itu berarti ujung-ujungnya rakyat harus menanggung beban utang.
“Andai proyek ini berdiri tanpa utang, tentu akan lebih layak dibanggakan,” kata Adi. “Sayangnya, di balik kenyamanan dan kecepatan Whoosh, masih tersisa beban berat yang ditinggalkan untuk rakyat.” tambahnya.
Persoalan makin pelik setelah terungkap rincian utang yang harus dicicil Indonesia kepada Cina. Berdasarkan laporan Kompas (28 Oktober 2025), utang pembangunan Whoosh dilakukan dengan skema bunga tetap (fixed rate) selama 40 tahun pertama. Bunga ini jauh lebih tinggi dibandingkan tawaran Jepang pada 2015 yang hanya 0,1 persen per tahun. Dalam perjalanannya, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) kewalahan membayar utang pokok dan bunga yang menumpuk. Kini, Danantara bersama China Development Bank (CDB) tengah melakukan negosiasi restrukturisasi agar cicilan bisa lebih ringan. Salah satu opsi yang sedang dipertimbangkan adalah memperpanjang tenor utang hingga 60 tahun.


