Setahun Prabowo–Gibran dalam Kacamata PESTEL: Antara Janji Besar dan Pekerjaan Rumah Besar
Oleh: Fariz Maulana Akbar

Abadikini.com, JAKARTA – Satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka menandai fase penting dalam perjalanan politik Indonesia modern. Dengan kekuatan politik besar dan dukungan publik luas, duet ini masuk Istana dengan janji perubahan besar. Namun di balik narasi “stabilitas dan percepatan”, muncul pertanyaan mendasar: apakah janji besar itu sedang diwujudkan, atau baru sekadar dikemas?
Berikut review singkat dari kacamata PESTEL (Politic, Economy, Social, Technology, Environment and Law) setahun pemerintahan Prabowo-Gibran.
Politik: Stabil tapi belum menenangkan
Koalisi gemuk dan komunikasi terkendali membuat politik nasional terlihat stabil. Tapi di baliknya, oposisi mengecil dan ruang kritik semakin sempit. Demokrasi yang terlalu diam justru menakutkan karena bisa kehilangan daya koreksi.
Gelombang protes “Agustus Kelabu” menjadi sinyal keras. Mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil turun ke jalan menuntut transparansi anggaran program sosial dan perbaikan ekonomi rakyat. Kerusuhan di beberapa kota memperlihatkan satu hal: stabilitas tanpa rasa keadilan hanya ilusi.
“Ketika kritik dibungkam, rakyat akan mencari jalannya sendiridan jalan itu sering kali jalan yang terjal dan berbatu.”
Ekonomi: Ambisi tinggi, realitas menuntut hati-hati
Pemerintah menjanjikan pertumbuhan 8% dan kemandirian ekonomi nasional. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi simbol niat baik. Tapi laporan di lapangan menunjukkan distribusi yang belum merata, higienitas lemah, dan tumpang tindih anggaran.
Koperasi Merah Putih hadir dengan semangat nasionalis, tapi masih kabur dalam struktur dan pengawasan. Banyak daerah belum tahu alur modal dan mekanisme partisipasinya.
Danantara, bank digital BUMN, membuka babak baru inklusi finansial, tapi masih dibayangi isu keamanan data dan tata kelola.
Kebijakan paling kontroversial adalah izin bagi WNA memimpin BUMN. Secara manajerial bisa efisien, tapi secara geopolitik riskan. BUMN bukan sekadar korporasi; ia adalah penjaga kedaulatan ekonomi nasional.
“Globalisasi boleh dibuka, tapi kedaulatan tidak boleh dijual dengan alasan efisiensi.”
Sosial: Antara empati dan ekspektasi
Pemerintah ingin tampil pro-rakyat lewat Sekolah Rakyat, Cek Kesehatan Gratis, dan program sosial lain. Namun implementasi kerap terganjal.
Sekolah Rakyat belum punya kurikulum baku dan guru sukarelawan belum dilindungi.
Cek Kesehatan Gratis bagus secara simbolik, tapi tanpa integrasi dengan BPJS dan fasilitas Puskesmas, dampaknya terbatas.
Gelombang Agustus Kelabu memperlihatkan ekspektasi publik yang tak tertahan. Saat harga pangan naik dan daya beli melemah, empati rakyat berubah menjadi rasa kecewa. Pemerintah perlu sadar bahwasanya populisme tanpa substansi hanya memperpendek umur kepercayaan.
Teknologi: Momentum digital butuh arah
Citra digital Gibran membuat generasi muda merasa dekat. Namun digitalisasi bukan hanya soal meme dan media sosial.
Program Danantara adalah tonggak penting, tetapi pemerintah harus memastikan keamanan data rakyat dan akses setara bagi semua daerah.
Tanpa pemerataan infrastruktur dan literasi, digitalisasi hanya akan melahirkan ketimpangan baru antara warga daring dan warga yang tertinggal.
Lingkungan: Green economic jangan ketinggalan
Proyek food estate, tambang nikel, dan infrastruktur besar memang menggerakkan ekonomi, tapi meninggalkan jejak ekologis berat. Deforestasi, krisis air, dan rusaknya lahan produktif makin terasa.
Dalam visi “Indonesia Emas”, isu lingkungan belum jadi arus utama. Padahal, dunia sedang beralih ke green economic. Indonesia perlu hadir sebagai pemain utama, bukan penonton terakhir.
Hukum: Reformasi belum ke akar
Reformasi hukum masih setengah jalan. Digitalisasi pelayanan publik memang berjalan, tapi akar masalah korupsi, konflik kepentingan, dan impunitas belum disentuh.
Selama hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, kepercayaan rakyat tidak akan tumbuh.
Efektifitas demokrasi diukur dari kemampuan hukum menegakkan keadilan, bukan menyesuaikan selera kekuasaan.
Menatap Tahun Kedua: Dari Narasi ke Substansi
Setahun pertama adalah masa bulan madu. Tahun kedua akan menentukan arah sejarah.
Program besar seperti Makan Bergizi Gratis, Sekolah Rakyat, Koperasi Merah Putih, Danantara, dan Cek Kesehatan Gratis punya potensi menjadi warisan berharga, asalkan diperbaiki dalam hal tata kelola, transparansi, dan keberlanjutan fiskal.
Gelombang protes Agustus Kelabu yang lalu merupakan peringatan bahwa rakyat tidak menolak pembangunan, tapi menolak ketidakadilan.
Kekuatan sejati pemimpin bukan di tangan yang menekan, tapi di telinga yang mau mendengar.
Indonesia hari ini tidak kekurangan slogan dan program; yang dibutuhkan hanyalah kerja yang jujur, komunikasi yang rendah hati, dan kebijakan yang menyentuh rakyat kecil. Dan pada akhirnya, rakyat butuh bukti bukan hanya sekadar narasi.
Penulis adalah Direktur Jaringan Rakyat untuk Demokrasi Sehat dan Bermartabat