Prof. Mochtar Ngabalin: Indonesia dan Prabowo Poros Perdamaian Dunia

Abadikini.com, JAKARTA – Guru Besar Busan University of Foreign Studies (BUFS) Korea Selatan, Prof. Ali Mochtar Ngabalin, menilai pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September 2025 menjadi titik balik arah politik luar negeri Indonesia di panggung global.
Menurut Prof. Ali, pidato tersebut bukan sekadar seremoni diplomatik, melainkan pernyataan sikap yang menegaskan posisi Indonesia sebagai kekuatan moral dunia.
“Presiden Prabowo menampilkan pandangan yang berakar pada rasionalitas dan moralitas. Ia mengajak dunia kembali kepada semangat dasar PBB menempatkan nilai kemanusiaan di atas persaingan dan ambisi,” ujar Prof. Ali Mochtar Ngabalin dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/10/2025).
Dalam pidato di markas besar PBB, New York, Prabowo menekankan pentingnya keadilan dan kemanusiaan sebagai dasar perdamaian dunia. Ia menegaskan, stabilitas global hanya akan tercapai jika setiap bangsa menghormati hak hidup bangsa lain.
Prof. Ali yang juga menjabat Ketua DPP Partai Golkar Bidang Kebijakan Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasional menilai, gagasan Prabowo mencerminkan kedewasaan diplomasi Indonesia yang berpijak pada akal sehat, kesetaraan, dan penghormatan terhadap kedaulatan.
“Diplomasi yang dijalankan Presiden Prabowo berlandaskan nilai kemanusiaan dan rasionalitas. Setiap langkahnya menunjukkan tekad menjaga dunia agar tetap memiliki ruang bagi dialog, bukan dominasi,” jelasnya.
Lebih jauh, Prof. Ali menautkan pemikiran Prabowo dengan refleksi para filsuf besar dunia. Ia menyebut filsuf Prancis-Jerman Eric Weil, yang berpendapat bahwa kekerasan muncul ketika manusia berhenti berpikir dan perdamaian hanya tumbuh dari pikiran yang rasional.
“Pemikiran Weil menegaskan bahwa perdamaian adalah tindakan aktif, hasil dari pikiran yang terlatih dan hati yang tenang. Itu yang saya lihat dalam cara Presiden Prabowo berbicara dan menyusun argumentasinya,” katanya.
Ia juga mengaitkan pandangan itu dengan ajaran filsafat Stoik dari Epictetus dan Marcus Aurelius, yang menempatkan kendali diri sebagai dasar kebijaksanaan. Menurutnya, kepemimpinan sejati lahir dari kemampuan menata diri sebelum menata dunia.
Selain itu, Prof. Ali menyinggung pemikiran sosiolog perdamaian Johan Galtung, yang membedakan antara perdamaian negatif (ketiadaan perang) dan perdamaian positif (hadirnya keadilan dan kesejahteraan). Ia menilai, arah diplomasi Indonesia di bawah Prabowo mulai menunjukkan ciri perdamaian positif tersebut.
“Dunia menaruh perhatian pada kehadiran Indonesia sebagai penjaga moral global. Prabowo tampil sederhana namun tegas — berbicara dengan nalar, bertindak dengan hati nurani,” ujar Prof. Ali.
Menurutnya, pidato Prabowo di PBB menjadi momen penting yang membuka babak baru bagi peran Indonesia dalam percaturan dunia: menjadi jembatan rasional antarperbedaan dan pembawa pesan peradaban.
“Dari podium PBB hingga forum internasional lainnya, Indonesia kini kembali membawa pesan luhur yang menjadi jati dirinya sejak awal kemerdekaan — bahwa dunia yang beradab adalah dunia yang damai,” pungkasnya.