Gencatan Senjata atau Strategi Baru AS? 200 Tentara Siap Pantau Gaza

Abadikini.com, GAZA – Amerika Serikat (AS) mengumumkan pengerahan sekitar 200 tentaranya untuk bergabung dengan pasukan multinasional yang akan memantau pelaksanaan gencatan senjata di Jalur Gaza. Keputusan ini menjadi bagian dari implementasi kesepakatan perdamaian yang digagas Presiden Donald Trump, di tengah upaya dunia internasional meredam konflik berkepanjangan antara Israel dan Hamas.
Menurut pejabat senior AS yang berbicara kepada wartawan dengan syarat anonim, pasukan tersebut tidak akan memasuki wilayah Gaza secara langsung. Mereka akan ditempatkan di luar area konflik untuk membangun joint command center atau pusat kendali bersama, sebagai langkah awal koordinasi dengan pasukan dari negara-negara lain.
“Sebagian besar tugas mereka bersifat pengawasan, memastikan tidak terjadi pelanggaran gencatan senjata maupun penyerbuan oleh pihak manapun,” kata pejabat itu.
Komandan Komando Pusat AS (CENTCOM), Laksamana Bradley Cooper, ditunjuk untuk memimpin dan memantau jalannya operasi. Ia akan memastikan mekanisme pengawasan berlangsung efektif dan sesuai mandat internasional.
Peran Negara Arab dan Muslim
Washington menyebut gugus tugas tersebut akan melibatkan sejumlah negara kawasan, termasuk Mesir, Qatar, Turki, dan kemungkinan Uni Emirat Arab. Keempat negara itu diharapkan menjadi mitra utama dalam mengawal stabilitas di Gaza pasca-penarikan pasukan Israel.
Juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, menyebut bahwa personel AS yang terlibat merupakan bagian dari CENTCOM dan sudah siaga di kawasan Timur Tengah.
“Mereka akan bekerja sama dengan pasukan internasional lain di lapangan untuk memantau perjanjian damai dan menjaga agar gencatan senjata berjalan sesuai kesepakatan,” ujarnya melalui akun X.
Menuju “Pasukan Stabilisasi Internasional”
AS kini tengah mematangkan pembentukan International Stabilization Force pasukan stabilisasi internasional yang akan mengambil alih tanggung jawab keamanan di Gaza setelah penarikan pasukan Israel dari wilayah yang disebut sebagai “garis kuning”.
Istilah ini merujuk pada batas sementara yang menjadi titik penarikan pasukan Israel tahap pertama, sebagaimana diatur dalam rencana gencatan senjata versi Trump.
Salah satu pejabat yang terlibat dalam penyusunan rencana tersebut menjelaskan, gugus tugas gabungan akan menjadi fondasi dari pasukan permanen di kemudian hari.
“Tujuan akhirnya adalah memastikan seluruh instalasi militer dan persenjataan berat di Gaza dapat dinonaktifkan secara bertahap. Kami ingin celah sekecil apa pun dalam perjanjian ini segera ditutup,” ujarnya.
Isi Rencana Gencatan Senjata
Rencana perdamaian yang diumumkan Trump pada 29 September lalu memuat 20 poin utama. Fase pertama mencakup penghentian agresi, pembebasan seluruh tawanan Israel dengan imbalan 2.000 tahanan Palestina, serta penarikan bertahap pasukan Israel dari seluruh Jalur Gaza.
Tahap kedua menitikberatkan pada pembentukan mekanisme pemerintahan baru di Gaza tanpa keterlibatan Hamas, pelucutan senjata kelompok bersenjata, serta pembentukan pasukan keamanan yang terdiri atas warga Palestina dan perwakilan militer dari negara-negara Arab dan Islam.
Negara-negara Arab dan Muslim disebut menyambut baik inisiatif tersebut, meski beberapa di antaranya menilai implementasinya masih memerlukan pembahasan teknis lebih lanjut. Pendanaan untuk pemerintahan baru dan rekonstruksi Gaza juga akan melibatkan negara-negara donor di kawasan.
Penarikan dan Korban Terbaru
Utusan Khusus AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, pada Jumat (10/10) mengonfirmasi bahwa Israel telah menyelesaikan penarikan pasukan tahap pertama ke “garis kuning”.
“CENTCOM memastikan Pasukan Pertahanan Israel telah mundur sesuai jadwal, dan periode 72 jam untuk pembebasan sandera telah dimulai,” ungkap Witkoff melalui platform X.
Sementara itu, situasi kemanusiaan di Gaza tetap genting. Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan 17 warga sipil tewas dan 71 luka-luka dalam 24 jam terakhir akibat serangan lanjutan sebelum gencatan sepenuhnya berlaku. Total korban sejak pecahnya perang pada 7 Oktober 2023 kini mencapai 67.211 jiwa tewas dan 169.961 luka-luka.
Banyak korban masih tertimbun reruntuhan karena terbatasnya akses ambulans dan tim penyelamat.
Kehadiran pasukan multinasional ini diharapkan menjadi langkah awal menuju stabilitas di Gaza. Namun, di tengah kompleksitas politik kawasan dan sejarah panjang konflik, dunia masih menanti: apakah inisiatif yang diklaim sebagai “rencana damai Trump” benar-benar mampu menghadirkan kedamaian abadi, atau hanya babak baru dari siklus konflik yang belum berakhir.