Menjaga Tentara dari Godaan Kekuasaan: Refleksi 80 Tahun TNI
Oleh: Fariz Maulana Akbar

Abadikini.com, JAKARTA – Delapan puluh tahun sudah Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah republik. Sejak kelahirannya pada 5 Oktober 1945, TNI bukan sekadar alat pertahanan negara, tetapi juga simbol perjuangan rakyat. Namun, perjalanan panjang itu juga menyisakan jejak kompleks dalam hubungan antara tentara, negara, dan masyarakat sipil—sebuah dinamika yang kembali mengemuka pasca revisi Undang-Undang TNI No. 34 Tahun 2004 yang disahkan pada Maret 2025 sebagai UU No. 3 Tahun 2025.
Revisi itu, yang memperluas ruang jabatan sipil bagi prajurit aktif dan memperpanjang usia dinas hingga 60 tahun, memantik kembali kekhawatiran tentang “dwifungsi gaya baru”. Sebuah istilah yang membuat publik teringat pada masa lalu ketika militer bukan hanya alat pertahanan, tapi juga aktor politik, birokrasi, dan bahkan ekonomi.
Dari Dwifungsi ke Profesionalisme
Untuk memahami kekhawatiran ini, menarik menengok teori ilmuwan politik Ulf Sundhaussen tentang dua wajah militer: praetorian dan profesional. Dalam bukunya The Road to Power: Indonesian Military Politics 1945–1967, Sundhaussen menjelaskan bahwa militer praetorian cenderung intervensif terhadap politik, merasa berhak mengambil alih ketika institusi sipil dianggap lemah. Sebaliknya, militer profesional tunduk pada otoritas sipil dan fokus pada keahlian pertahanan.
Konsep ini relevan dengan perjalanan TNI dari era Orde Baru hingga Reformasi 1998. Selama tiga dekade di bawah rezim Soeharto, dwifungsi ABRI menjadikan militer pengendali hampir semua lini: dari pemerintahan, partai politik, hingga ekonomi nasional. Struktur teritorial dari pusat hingga desa menjadikan TNI kekuatan hegemonik, dengan pengawasan melekat pada masyarakat sipil.
Reformasi 1998 memutus rantai itu. Pemisahan Polri, penghapusan dwifungsi, dan dihapusnya kursi militer di parlemen menjadi tonggak kembalinya militer ke barak. Undang-Undang TNI 2004 menegaskan netralitas politik dan menempatkan TNI di bawah kendali presiden dan Kementerian Pertahanan. Masa-masa itu menjadi fase penting menuju profesionalisme militer sebagaimana diimpikan para reformis: militer kuat, rakyat berdaulat.
Bayang-Bayang Lama yang Tak Pernah Pergi
Namun dua dekade berselang, residu praetorianisme belum sepenuhnya hilang. Penempatan purnawirawan di jabatan sipil strategis, keterlibatan TNI dalam proyek non-pertahanan seperti pangan dan infrastruktur, hingga kasus kekerasan aparat menunjukkan bahwa garis pemisah antara militer dan sipil masih rapuh.
Revisi UU TNI 2004—yang kini mulai berlaku—menjadi ujian besar bagi demokrasi kita. Perluasan jabatan sipil yang dapat diisi prajurit aktif dari 10 menjadi 19 lembaga sipil, termasuk kementerian non-pertahanan, dikhawatirkan membuka kembali ruang “dwifungsi terselubung”. Padahal, dalam sistem demokrasi modern, supremasi sipil adalah prinsip utama yang menjamin kontrol rakyat atas kekuasaan bersenjata.
Beberapa lembaga sipil, seperti Kontras dan Imparsial, mencatat peningkatan kasus kekerasan militer sejak revisi itu disahkan. Di sisi lain, beberapa kalangan pembela UU berargumen bahwa perluasan peran tersebut adalah adaptasi terhadap kebutuhan negara dalam menghadapi ancaman non-tradisional. Namun, tanpa kontrol sipil yang kuat, adaptasi itu bisa menjadi pintu bagi kembalinya militerisme gaya lama.
TNI Kuat, tapi Tunduk pada Sipil
Ulf Sundhaussen menyebut, militer profesional justru kuat karena disiplin dan loyal pada tatanan sipil, bukan karena kuasa politiknya. Prinsip ini sejalan dengan semangat Tentara Rakyat, Tentara Pejuang, Tentara Nasional, dan Tentara Profesional yang menjadi identitas TNI modern. Rakyat mencintai TNI bukan karena kekuasaannya, tapi karena ketulusannya menjaga negeri tanpa pamrih politik.
Oleh karena itu, di usia ke-80 ini, refleksi paling penting bagi TNI dan bangsa adalah meneguhkan kembali garis demarkasi itu. Pemerintah sipil perlu memperkuat tata kelola dan transparansi agar tak tergoda menyerahkan fungsi sipil ke tangan militer atas nama efisiensi. Sebaliknya, TNI perlu menjaga marwahnya sebagai pelindung konstitusi dan rakyat, bukan pelaku kekuasaan politik.
Menjaga Demokrasi Bermartabat
Hubungan sehat antara tentara, negara, dan masyarakat sipil adalah fondasi demokrasi bermartabat. Profesionalisme militer tak akan tumbuh tanpa kepercayaan publik, dan kepercayaan publik tak akan lahir tanpa netralitas politik. Itulah makna sejati semboyan “TNI Bersama Rakyat” — bukan dalam arti menguasai rakyat, tetapi tumbuh bersama rakyat dalam menjaga republik.
TNI yang dicintai adalah TNI yang kuat tapi tunduk pada konstitusi. TNI yang dihormati adalah TNI yang menjaga, bukan menguasai. Dan TNI yang dikenang sejarah adalah TNI yang berani menegaskan diri: lebih baik setia pada rakyat, daripada tergoda kuasa.
Selamat Hari Ulang Tahun ke-80 Tentara Nasional Indonesia. Semoga profesionalisme TNI seiring sejalan dengan tegaknya demokrasi yang sehat dan bermartabat serta tunduk pada supremasi sipil.
Penulis Adalah Direktur Jaringan Rakyat untuk Demokrasi Sehat dan Bermartabat