Polemik Unikama, Kuasa Hukum PPLP-PT PGRI Tegaskan Kepemimpinan Christea Tidak Sah

Abadikini.com, JAKARTA – Polemik kepengurusan Perkumpulan Pembina Lembaga Pendidikan Perguruan Tinggi Persatuan Guru Republik Indonesia (PPLP-PT PGRI) Malang yang menaungi Universitas PGRI Kanjuruhan Malang (Unikama) menemui titik terang. Kuasa Hukum PPLP-PT PGRI Malang, Susilo Hariyoko, menyatakan bahwa kepengurusan yang mengklaim dipimpin oleh Christea adalah tidak sah secara hukum.
Penegasan ini didasarkan pada hak jawab dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan HAM RI terkait status hukum terakhir PPLP-PT PGRI Malang.
Susilo menjelaskan, Ditjen AHU telah mengonfirmasi bahwa setelah pembukaan blokir Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) pada 4 Juli 2025, terjadi perubahan data. Surat Keputusan (SK) terakhir yang tercatat dalam sistem adalah AHU-0001302.AH.01.08. Tahun 2025, berdasarkan Akta Nomor 16 tanggal 29 Juli 2025, yang mencatat Drs. Agus Priyono, MM sebagai Ketua PPLP-PT PGRI Malang.
“Dari penjelasan Ditjen AHU, SK terakhirlah yang berlaku, di mana Pak Agus Priyono sebagai Ketua PPLP-PT PGRI Malang,” kata Susilo dalam keterangan pers di Jakarta, Sabtu (4/10/2025).
Dasar Hukum Kepemimpinan Christea Dinilai Tidak Sah
Susilo secara tegas menyatakan bahwa pengangkatan Christea sebagai pengurus PPLP-PT PGRI Malang berdasarkan Akta No. 11 Tanggal 16 Juli 2025 adalah tidak sah. Alasannya, pertama, Akta No. 11 dibuat berdasarkan Akta No. 1 Tanggal 3 Januari 2018, di mana pengesahannya (SK Menkumham Nomor AHU-0000001.AH.01.08 Tahun 2018) telah dinyatakan batal oleh Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 195 K/TUN/2019 yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Kedua, Notaris yang membuat Akta No. 11 diduga hanya menggunakan pertimbangan hukum, bukan amar putusan (diktum), sebagai dasar perubahan badan hukum, padahal amar putusan adalah satu-satunya bagian yang memiliki kekuatan eksekutorial.
Susilo juga menyebut bahwa klaim Christea yang menyatakan Akta No. 84 Tanggal 28 Oktober 2015 dan Akta No. 1 Tanggal 3 Januari 2018 masih berlaku, adalah keterangan yang menyesatkan karena klaim tersebut bukan merupakan bunyi amar putusan pengadilan.
Susilo menambahkan, tindakan Christea yang diduga memberikan keterangan tidak benar kepada Notaris berpotensi dikualifikasikan sebagai dugaan Tindak Pidana Memberikan Keterangan Palsu dalam Akta Otentik (Pasal 266 ayat (1) KUHP). Pihaknya kini sedang menempuh upaya-upaya hukum untuk membela kepentingan kliennya tersebut.