Putus Rantai Oligarki: Resep Jerman-Inggris untuk Parpol Indonesia
Oleh: Fariz Maulana Akbar

Abadikini.com, JAKARTA – Kenaikan dana partai politik (parpol) dari negara bukan jaminan demokrasi makin sehat. Tanpa reformasi, uang negara justru bisa jadi bahan bakar baru bagi oligarki. Indonesia perlu belajar dari Jerman dan Inggris dua negara yang sukses memadukan dana publik dengan transparansi ketat.
Isu pendanaan parpol kembali panas. Pemerintah dan DPR sudah sepakat menaikkan bantuan keuangan parpol dari Rp1.000 menjadi Rp3.000 per suara sah. Tujuannya untuk mengurangi ketergantungan pada donatur swasta yang rawan korupsi. Namun, tanpa reformasi mendalam, kebijakan ini bisa berubah jadi bensin baru bagi praktik money politics.
Survei Indikator Politik (Mei 2025) menunjukkan kepercayaan publik pada parpol anjlok, hanya 55 persen. Skandal korupsi, politik dinasti, dan lemahnya pengawasan membuat rakyat makin skeptis. Transparency International Indonesia (TII) pun mengingatkan: menaikkan dana tanpa transparansi sama saja “memberi makan” oligarki.
Lalu, ke mana arah reformasi harus dibawa? Jerman dan Inggris bisa jadi guru.
Jerman menekankan pendanaan publik. Subsidi negara mencapai €219 juta pada 2024, dibagikan berdasarkan suara pemilu dan iuran anggota. Ada skema matched funding: setiap euro dari iuran atau donasi individu ditambah oleh negara, maksimal 50 persen dari total pendapatan parpol. Donasi korporasi dilarang, dan semua sumbangan besar wajib dilaporkan. Hasilnya, parpol Jerman punya basis massa yang nyata, bukan hanya elite pemilik modal.
Inggris menekankan transparansi. Lewat Political Parties, Elections and Referendums Act 2000, donasi di atas £7.500 wajib dilaporkan ke Electoral Commission dan dipublikasikan online. Meski donasi besar tetap ada, publik bisa mengawasi dengan jelas siapa memberi dana ke siapa.
Dari dua model ini, Indonesia bisa mengadopsi tiga langkah. Pertama, naikkan bantuan publik menjadi Rp5.000 per suara sah plus Rp500 per anggota terverifikasi, dengan matched funding 1:1 untuk donasi individu, dibatasi maksimal 40 persen pendapatan parpol. Kedua, perketat transparansi: laporan digital real-time untuk donasi di atas Rp10 juta, larangan donasi anonim, serta batas donasi individu Rp2,5 miliar per tahun. Donasi korporasi dan BUMN harus dilarang total. Ketiga, bentuk Otoritas Pendanaan Politik sebagai badan independen, dengan wewenang audit, investigasi, hingga diskualifikasi parpol.
Memang, resistensi parpol besar dan beban APBN hingga Rp600 miliar per tahun akan jadi tantangan. Tapi momentum revisi UU Parpol dalam Prolegnas 2025 tak boleh dilewatkan. Keterlibatan masyarakat sipil penting agar reformasi ini tidak jadi formalitas belaka.
Reformasi pendanaan parpol adalah kunci demokrasi yang lebih bersih. Dengan menggabungkan keunggulan Jerman dan Inggris, Indonesia bisa keluar dari jerat oligarki, memperkuat parpol, dan mengembalikan kepercayaan rakyat. Demokrasi sehat dimulai dari pendanaan yang adil dan kita harus memulainya sekarang.
Penulis adalah Direktur Jaringan Rakyat untuk Demokrasi Sehat dan Bermartabat (Jarak Dekat)