Di Tengah Tekanan Global, Hamas Nyatakan Rela Mundur dari Gaza

Abadikini.com, JAKARTA – Gerakan perlawanan Hamas menyatakan kesediaannya melepaskan kendali atas Jalur Gaza setelah 17 tahun berkuasa, namun menegaskan tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari rakyat Palestina.
“Kami tidak keberatan jika tidak lagi memerintah Gaza,” ujar pejabat senior Hamas, Ghazi Hamad, dalam wawancara dengan CNN, Jumat (26/9). “Namun keberadaan Hamas sebagai bagian dari rakyat Palestina tidak bisa dihapus begitu saja.”
Hamas mengambil alih Gaza dari Otoritas Palestina (PA) pada 14 Juni 2007. Sejak itu, kelompok ini menjalankan pemerintahan hingga pecahnya perang Gaza pada Oktober 2023 yang menewaskan puluhan ribu warga sipil.
Pernyataan terbaru Hamas muncul setelah Presiden AS Donald Trump mempresentasikan rencana 21 poin di sela Sidang Umum PBB ke-80, New York. Rencana itu menargetkan skenario pascaperang Gaza, termasuk pembentukan pemerintahan baru tanpa Hamas, pasukan keamanan gabungan Palestina–Arab, serta skema rekonstruksi dengan dana negara-negara Arab-Muslim. Otoritas Palestina hanya diberi peran terbatas.
Trump disebut mendesak para pemimpin Arab mendukung gagasannya, sementara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan perang hanya akan berhenti setelah tiga tujuan tercapai: pembebasan seluruh sandera, penghancuran kekuatan militer sekaligus struktur pemerintahan Hamas, dan jaminan bahwa Gaza tak lagi menjadi ancaman bagi Israel.
Hamad menuturkan dirinya selamat dari serangan udara Israel di Qatar. Ia menuding Tel Aviv sengaja menyasar pihak-pihak yang terlibat negosiasi. Pada 9 September, serangan udara Israel menghantam markas Hamas di Doha. Delegasi pimpinan Khalil al-Hayya dilaporkan lolos, namun sejumlah tokoh penting, termasuk Jihad Lebed serta putra al-Hayya, Hammam, tewas.
Mengenai tawaran AS yang meminta Hamas membebaskan semua sandera sebagai imbalan pembebasan ribuan tahanan Palestina, Hamad menyebut pihaknya siap melakukan pertukaran dalam 24 jam. Namun, menurutnya, Israel menolak kesepakatan menyeluruh itu.
Sayap militer Hamas, Brigade Qassam, memperingatkan bahwa operasi darat Israel justru memperbesar risiko terhadap sandera. Data otoritas Israel menyebut masih ada 48 sandera di Gaza, sekitar 20 di antaranya diperkirakan hidup.
Di sisi lain, lebih dari 11.100 warga Palestina kini ditahan di penjara Israel. Laporan kelompok HAM menyebut banyak tahanan mengalami penyiksaan, kelaparan, dan kelalaian medis. Sejak perang meletus Oktober 2023, korban jiwa Palestina menembus 65.500 orang, mayoritas perempuan dan anak-anak, dalam apa yang oleh sejumlah pihak disebut sebagai genosida Israel.