Natalius Pigai Gagas Halaman DPR Jadi Alun-Alun Demokrasi Rakyat

Abadikini.com, JAKARTA – Menteri Hak Asasi Manusia (Menham) Natalius Pigai menggagas penyediaan ruang demonstrasi di halaman Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. Menurutnya, langkah ini merupakan strategi penting untuk memperkuat praktik demokrasi substantif di Indonesia.
“Demokrasi substantif berarti aspirasi masyarakat tersalurkan, ketertiban publik tetap terjaga, dan simbol kedaulatan hadir di jantung parlemen,” kata Pigai dalam keterangan di Jakarta, Senin (15/9/2025).
Ia menilai, penyediaan ruang demonstrasi di kawasan DPR akan menjadi sarana mempertemukan rakyat dengan lembaga yang mewakili mereka secara langsung. Negara, lanjut Pigai, bukan hanya menghormati hak berpendapat, tetapi juga wajib menyediakan ruang yang aman untuk mengekspresikannya.
Usulan ini, kata Pigai, sejalan dengan sikap Presiden Prabowo Subianto yang sebelumnya menegaskan komitmen pemerintah terhadap kebebasan berekspresi sesuai Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Undang-Undang HAM, serta Pasal 28E UUD 1945.
Menjawab Dilema Unjuk Rasa
Pigai menyoroti praktik demonstrasi di Indonesia yang kerap menimbulkan gesekan karena berlangsung di jalan raya dan mengganggu lalu lintas. Dengan memindahkan pusat aksi ke halaman DPR, negara dapat menjaga keseimbangan antara hak berpendapat dan ketertiban umum.
Ia merinci delapan alasan pentingnya ruang demonstrasi di Senayan: simbol demokrasi autentik, kedekatan dengan lembaga tujuan aspirasi, pengurangan beban lalu lintas, jaminan keamanan, terciptanya budaya dialog, hilangnya stigma negatif unjuk rasa, efisiensi logistik, serta menjadi preseden bagi daerah.
Belajar dari Negara Lain
Sejumlah negara disebut telah mempraktikkan hal serupa. Jerman, misalnya, menyediakan alun-alun publik di Berlin untuk aksi besar; Inggris mengatur demonstrasi di Parliament Square; Singapura memiliki Speakers’ Corner; Amerika Serikat menggunakan free speech zones; sementara Korea Selatan memfasilitasi unjuk rasa di Gwanghwamun Square meski melarangnya di sekitar istana dan parlemen.
“Pengalaman internasional menunjukkan ruang aspirasi di jantung kota memperkuat demokrasi. Tantangannya adalah memastikan ruang itu tidak menjadi instrumen pembatasan, seperti yang sering dikritik terhadap model Singapura,” ujarnya.
Gagasan Lama yang Tertunda
Pigai mengingatkan, gagasan “alun-alun demokrasi” sejatinya bukan hal baru. DPR pernah mencantumkannya dalam Rencana Strategis 2015–2019 dengan rencana pembangunan fasilitas permanen di sisi kiri kompleks parlemen, meski proyek itu tak pernah terealisasi.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga sempat membangun Taman Aspirasi di Monas pada 2016. Namun, ruang tersebut lebih bersifat simbolis dan tidak difungsikan sebagai lokasi demonstrasi resmi.
“Ini kesempatan kedua. Dulu DPR pernah merencanakan, Pemprov DKI pernah mencoba. Sekarang dengan momentum politik yang tepat, kita bisa memastikan ruang demokrasi benar-benar hadir, bukan sekadar wacana,” tegas Pigai.
Usulan itu pertama kali ia lontarkan saat meninjau Kantor Wilayah Kementerian HAM di Denpasar, Bali, Jumat (12/9).