Amartha Bantah Tuduhan Kartel Bunga Pinjaman di Sidang KPPU

Abadikini.com, JAKARTA – PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) menegaskan tidak pernah terlibat dalam praktik kartel penetapan bunga pinjaman layanan peer to peer (P2P) lending pada periode 2020–2023. Bantahan itu disampaikan melalui kuasa hukumnya, Harry Rizki Perdana, dalam sidang perkara dugaan pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dengan nomor perkara 05/KPPU-I/2025.
Harry menekankan sejak berdiri 15 tahun lalu, Amartha konsisten memposisikan diri sebagai lembaga keuangan berbasis teknologi yang berfokus pada pemberdayaan perempuan di perdesaan, mirip konsep Grameen Bank di Bangladesh. “Pembiayaan yang kami lakukan bersifat produktif, berupa modal kerja untuk usaha ultra mikro dan UMKM, bukan konsumtif. Ini poin penting yang muncul dalam persidangan,” ujarnya dalam keterangan rilis yang diterima Kamis (11/9/2025).
Dalam perkara ini, investigator KPPU mendasarkan tuduhan pada Pedoman Perilaku (Code of Conduct) Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yang mengatur batas bunga pinjaman—awal 0,8% per hari, lalu diturunkan menjadi 0,4% pada 2021. Aturan itu ditafsirkan sebagai bentuk perjanjian harga (price fixing).
Harry membantah tafsir tersebut. Menurutnya, pedoman AFPI tidak bisa disamakan dengan kesepakatan kartel karena disusun atas arahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Peraturan OJK Nomor 77/2016 dan surat edaran terkait perlindungan konsumen. “Pedoman ini lahir sebagai collective action antara OJK dan AFPI untuk mengisi kekosongan regulasi, mencegah praktik predatory lending, serta menekan maraknya pinjol ilegal,” jelasnya.
Ia menegaskan, penetapan batas maksimum bunga bukan kewajiban menyeragamkan harga, melainkan mekanisme perlindungan konsumen. Setiap anggota AFPI, kata Harry, tetap bebas menentukan tingkat bunga secara mandiri. “Contohnya, Amartha sejak 2018 sampai 2023 konsisten mengenakan bunga sekitar 2% per bulan. Itu jauh di bawah batas maksimum yang ditetapkan AFPI,” katanya.
Harry juga menyinggung struktur pasar P2P lending di Indonesia yang masih terfragmentasi. Berdasarkan data KPPU sendiri, empat pemain terbesar hanya menguasai sekitar 40% pangsa pasar. “Artinya, pasar fintech lending tidak terkonsentrasi, apalagi berbentuk oligopoli. Apakah realistis 97 perusahaan bisa bersepakat membentuk kartel? Tentu tidak,” tegasnya.