Investigasi Ungkap Israel Bayar Google Rp750 Miliar Demi Tutupi Fakta Kelaparan di Gaza

Abadikini.com, JAKARTA – Investigasi internasional mengungkap dugaan pemerintah Israel membayar Google sebesar 45 juta dollar AS atau sekitar Rp750 miliar. Dana itu disebut digunakan untuk kampanye iklan selama enam bulan guna membantah laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai krisis kelaparan di Jalur Gaza.
Mengutip laporan Drop Site News, Minggu (7/9/2025), pembahasan mengenai kampanye digital ini muncul dalam sidang Knesset tidak lama setelah Israel mengumumkan penghentian total pasokan makanan, bahan bakar, obat-obatan, dan kebutuhan pokok ke Gaza pada 2 Maret 2025. “Diskusi di parlemen lebih banyak menyoroti bagaimana citra Israel akan dipersepsikan, bukan pada kondisi warga sipil yang terdampak,” tulis laporan tersebut.
Data terbaru menunjukkan, sedikitnya 367 warga Gaza, termasuk 131 anak-anak, meninggal akibat kelaparan sejak blokade diberlakukan. Namun, juru bicara militer Israel berbahasa Arab, Avichay Adraee, justru mengusulkan kampanye digital. “Kita juga bisa meluncurkan kampanye dalam konteks ini, untuk menjelaskan bahwa tidak ada kelaparan dan menyajikan datanya,” ujar Adraee.
Salah satu iklan yang kemudian tayang di YouTube memperlihatkan warga Palestina sedang memasak dan makan. Video itu ditutup dengan kalimat, “There is food in Gaza. Any other claim is a lie.” Kampanye tersebut muncul di tengah meningkatnya sorotan dunia terhadap situasi kemanusiaan di Gaza.
Selain Google, Israel dilaporkan mengalokasikan 3 juta dollar AS atau sekitar Rp49 miliar untuk promosi di platform X serta mendatangkan sejumlah influencer asal Amerika Serikat. Kebijakan itu dijalankan ketika jurnalis internasional dilarang masuk ke Gaza, sementara jurnalis lokal kerap menghadapi ancaman serangan.
Beberapa pejabat Israel secara terbuka mendukung penggunaan kelaparan sebagai tekanan politik. Menteri Keuangan Bezalel Smotrich menyatakan, “No water, no electricity, they can die of hunger or surrender.” Menteri Warisan Mmichay Eliyah menambahkan, “Warga Palestina perlu dibuat kelaparan kecuali mereka meninggalkan Gaza.”
Kritik keras datang dari pelapor khusus PBB untuk wilayah Palestina, Francesca Albanese. Ia menuding Google ikut mendapatkan keuntungan dari krisis. “Ketika sebuah perusahaan teknologi menyediakan infrastruktur digital bagi negara yang sedang melakukan blokade, ia tidak bisa menghindar dari tanggung jawab moral,” kata Albanese.
Keterlibatan Google juga semakin dipertanyakan setelah salah satu pendirinya, Sergey Brin, menuding PBB sebagai lembaga yang “transparently antisemitic”. Pernyataan itu semakin memperkeruh kontroversi, terlebih di tengah meningkatnya seruan komunitas internasional agar akses bantuan kemanusiaan ke Gaza segera dibuka.