Pertemuan Lintas Iman: Prabowo, Moderasi Agama dan Perang Lawan Korupsi
Oleh: Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin

Abadikini.com, JAKARTA – Pagi 1 September kemarin di Istana Negara bukan sekadar pertemuan rutin antara presiden dan tokoh masyarakat. Prabowo Subianto menghadirkan kombinasi yang jarang terjadi dalam politik Indonesia: pemuka agama lintas iman, ketua partai, pimpinan serikat buruh, dan aktivis pemuda dalam satu ruangan yang sama. Ada kegelisahan kolektif yang menggantung di benak bangsa, sebuah kesadaran bersama bahwa bangsa ini sedang menghadapi krisis moral yang akut.
Yang menohok adalah kenyataan pahit yang dibahas di ruang itu: bagaimana mungkin orang-orang yang rajin beribadah dan beragama, justru dengan tidak malu-malu mencuri uang rakyat? Fenomena koruptor yang taat ritual agama ini bukan lagi anekdot, melainkan realitas sistemik yang memalukan. Bahkan beberapa di antara mereka, selalu memamerkan harta mereka dan kendaraan mewah mereka di media sosial.
Mereka hafal doa-doa panjang namun lupa pada makna amanah. Mereka tekun ke tempat ibadah namun lalai dalam menjaga kepercayaan publik.
Prabowo tampak memahami bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa diselesaikan hanya dengan instrumen hukum. RUU Perampasan Aset yang diperjuangkannya memang penting sebagai senjata legal, tetapi tanpa transformasi mental kolektif, hukum hanya akan menjadi macan kertas. Disinilah moderasi beragama menemukan relevansinya yang paling konkret.
Moderasi beragama bukan konsep akademis yang steril atau kompromi setengah hati antara kelompok ekstrem. Ini adalah pendekatan praktis untuk menghadirkan yang terbaik dari agama dalam kehidupan berbangsa. Ketika agama dipahami secara moderat, tidak ada ruang untuk memisahkan antara kesalehan ritual dengan integritas sosial. Tidak ada celah untuk menjadi alim di tempat ibadah namun korup di kantor.
Para tokoh agama yang hadir dari berbagai latar belakang keyakinan, menunjukkan kematangan dalam memahami tantangan ini. Mereka tidak lagi terjebak pada perdebatan teologis yang sempit, melainkan fokus pada bagaimana agama bisa menjadi kekuatan moral yang nyata dalam memberantas korupsi. Ini adalah evolusi penting dalam cara beragama di Indonesia.
Komitmen Prabowo pada RUU Perampasan Aset mengirim sinyal kuat bahwa era toleransi terhadap penjahat berjubah agama dan berdasi mewah, sudah berakhir. Kekayaan yang dijarah dari rakyat harus dikembalikan kepada rakyat. Aset-aset mewah hasil korupsi tidak boleh lagi dinikmati dengan tenang oleh para pencuri uang negara. Ini bukan hanya soal keadilan legal, tetapi juga tentang mengembalikan martabat bangsa.
Ada yang menarik dari pertemuan tersebut adalah kesediaan para tokoh lintas iman untuk menjadi mitra aktif dalam penegakan keadilan. Mereka berkomitmen tidak hanya berkhotbah tentang moral di mimbar, tetapi juga turun tangan mendukung upaya konkret pemberantasan korupsi. Ini adalah langkah progresif yang patut diapresiasi.
Moderasi beragama dalam konteks pemberantasan korupsi berarti agama harus berani bersuara tegas melawan kejahatan, meskipun pelakunya adalah orang yang secara ritual terlihat taat. Tidak boleh ada toleransi berkedok solidaritas agama terhadap tindak pidana korupsi. Keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu, tanpa mempertimbangkan seberapa rajin seseorang beribadah.
Prabowo sepertinya ingin membangun politik yang tidak artifisial, yang tidak memisahkan antara nilai moral dengan kebijakan praktis. Visinya tentang negara yang hadir untuk mendengarkan rakyat bukan sekadar retorika, melainkan komitmen untuk membangun konsensus moral yang solid. Dialog dengan tokoh lintas iman adalah langkah awal untuk merealisasikan visi tersebut.
Tentu saja, perubahan tidak akan terjadi dalam semalam. Kultur permisif terhadap korupsi sudah mengakar terlalu dalam, dan mentalitas instan masih sangat kuat di berbagai lapisan masyarakat. Namun dengan dukungan para tokoh agama yang berkomitmen pada integritas, upaya pemberantasan korupsi memiliki fondasi moral yang lebih kokoh.
Indonesia membutuhkan revolusi cara beragama: dari agama yang hanya fokus pada ritual menuju agama yang juga peduli pada keadilan sosial. Dari agama yang hanya bicara tentang akhirat menuju agama yang juga memperjuangkan keadilan di dunia. Dari agama yang permisif terhadap korupsi menuju agama yang tegas menolak segala bentuk pengkhianatan terhadap amanah publik.
Dialog antara Prabowo dan tokoh lintas iman kemarin adalah momentum penting untuk memulai era baru dalam kehidupan berbangsa. Era ketika agama dan negara berjalan seiring memberantas korupsi dengan kekuatan moral dan hukum sekaligus. Era ketika moderasi beragama tidak lagi dipandang sebagai konsep abstrak, melainkan praxis nyata dalam membangun Indonesia yang adil dan bermartabat.
Kita semua berharap komitmen yang diucapkan di Istana kemarin akan diterjemahkan menjadi tindakan nyata di lapangan. Sebab tanpa konsistensi, dialog terindah pun hanya akan menjadi omon-omon belaka.
Penulis Adalah
Ketua DPP Partai Golkar
Bidang Kebijakan Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasional.
Guru Besar
Busan University of Foreign Studies
(BUFS) Korea Selatan
Alumni Fakultas Dakwah IAIN Alauddin Makassar
Ketua Umum Pengurus Pusat Badan Koordinasi Muballigh Se-Indonesia (PP BAKOMUBIN)