Demokrasi: Dibangun atas Keadaban Wicara Bukan Pula Tuna Aksara
Oleh : Samuel Mink Budayawan tinggal di Tangerang

Abadikini.com, JAKARTA – Socrates filsuf yang lahir pada 470 SM jauh sebelum Eropa centang perenang dengan segala ilmu pengetahuan dan teknologi, telah meletakan pionir demokrasi.
Lahir di Deme Alopece Athena, dari seorang ayah tukang batu dan bidan ini, ia dikenang sebagai soko guru demokrasi.
Para filsuf dan ilmuan banyak belajar dari setiap pikirannya. Aristoteles hingga Ibnu Rush banyak belajar dari sosok yang gemar memancing pikiran di pasar Atena ini.
Pasar atau Agora yang menjadi tempat menjajaki idenya dengan warga Atena menjadi jejak asal mula keadaban demokrasi barat dibangun, berdasarkan pikiran dan kebijaksanaan. Bukan parade kekerasan sebagaimana gemar dilakukan kaum Barbarian.
Di pasar itu, saking asiknya melakukan tindakan wicara memancing ide warga, ia luput memenuhi kebutuhan makan istrinya, hingga suatu saat tokoh besar Demokrasi ini pernah dilempar piring istrinya karena terlalu asik mengulik kebijaksanaan.
Teori cara mencari kebenaran seperti bidan yang memancing seorang ibu hamil agar bisa melahirkan bayinya, menjadi paling terkenal.
Pernyataannya ; Unexamined life is not worth living, “hidup yang tak dipertanyakan adalah hidup yang buruk” terus dikenang.
Kalimat pragmen itu bahkan menjadi inspirasi bagi filsuf Prancis Rene Descartes menelurkan teori ‘kesangsian metodis’ yang kemudian berubah ilmu pengetahuan atau science.
Ya, segala sesuatu mesti dijeda disangsikan, lalu direfleksikan untuk mendapatkan kedalaman pikiran atau dalam bahasa Arab disebut tawasul wa al-tabayun.
Ilmuan Islam Al-Ghazali bahkan menyatakan dengan lugas; ‘berpikir sejenak lebih baik daripada seribu ibadah tanpa berpikir’.
Kekosongan atau kemalasan berpikir atau menggunakan ‘akal’ baginya sama saja dengan mengingkari nikmat Tuhan yang paling utama. Sebab itu yang membedakan manusia dengan hewan lain atau manusia sebagai hayawanun na’a tiqun.
Segala yang menutupi pikiran, seperti fanatisisme buta, tindakan sarkasme, melumrahkan kekerasan adalah bagian dari semangat anti-pikiran. Karena itu di masa lalu kaum anti-pikiran yang mengandalkan kekerasan disebut kaum barbarian atau tak beradab.
Hari ini kita menyaksikan bagaimana parade ‘kekerasan’ yang dinormalisasi dengan dalih suara rakyat. Padahal suara rakyat bisa lahir dari skema perang proxy di media sosial. Lewat video yang dipotong lalu diedit, seorang Sri Mulyani jadi korban penjarahan.
Efek domino kekerasan yang dipicu pernyataan politisi Ahmad Syahroni, jelas tak bisa dibenarkan secara akal budi. Sebab kekerasan dan sarkasme verbal Syahroni tetap harus dilawan dengan desakan yang lebih beradab. Dengan cara mendesak partainya atau tidak memilihnya di hari kemudian. Tapi jika saat mencalonkan diri ia dipuja dan didatangi warga apalagi dengan iming-iming uang sogokan untuk memilihnya, lingkaran setan kekuasaan akan tetap berkubang di lingkaran hasil pemilu 5 tahunan.
Tapi rakyat juga punya alasan; jika tak dijarah rumahnya, para petinggi negeri ini tidak akan bertindak? Karena itu warga ‘terpaksa’ melakukannya agar didengar.
Sekilas pernyataan itu benar, tapi jika rakyat menginginkan demokrasi sebagai sesuatu yang ideal menghasilkan tokoh-tokoh yang mewakili mereka, tindakan itu jelas kontradiktif.
Sebab bukan Syahroni, Eko Patrio atau Uya Kuya yang jelas tak layak menjadi dewan, tapi sistemlah yang memungkinkan mereka bisa lolos ke Senayan.
Ya, sistem rekrutmen partai yang tidak kredibel merekrut kader dari antah berantah asal punya uang dan popularitas, atau kedekatan emosional. Sistem yang memungkinkan bocah ingusan anak mamah yang tak punya jejak rekam sosial di masyarakat bisa dengan mudah duduk di kursi panas kekuasaan. Sistem dan tabiat warga masyarakat pula yang mudah tergoda oleh iming-iming saweran saat hajatan pemilu 5 tahunan.
Yang punya jejak rekam, yang punya pengalaman sebagai aktivis, sebagai pegiat demokrasi hanya akan menjadi penonton atau paling banter menjadi otak di balik kesuksesan tokoh yang ditopang uang saweran.
Diakui atau tidak, siklus lingkaran setan itu hanya akan menjadi bom waktu, di tengah rumah-rumah berpikir, tempat para mahasiswa mengasah akademia, sekolah dan pesantren santri atau akademisi telah roboh perlahan berganti kegemaran kita mengkonsumsi potongan konten yang dibagikan para buzzer atau influencer.
Kita telah kehilangan momentum untuk mengambil waktu jeda berpikir, sebab nyaris setiap hari dibombardir potongan-potongan konten video berbagi.
Tidak ada jeda waktu merenung apalagi menulis dan membaca di tengah sepi malam. Semua sudah larut dalam euforia.
Di Amerika, semaju-majunya dunia maya, seorang teman disana bercerita masih bisa mengeja tulisan cetak lewat koran. Ada jeda waktu di kafe berpikir mengeja tulisan. Tak sepenuhnya tulisan hilangan dari peredaran di tengah dunia digital yang centang perenang.
Karena itu Amerika dan Eropa warganya telah siap menahan badai gelombang gempuran teknologi digital ketimbang kita yang belum beranjak dari dunia keberaksaraan.
Tontonan vulgar kekerasan hari ini; pembakaran, penjarahan hingga penggilasan seorang ojek online, yang terus berulang dipertontonkan menjadi tontonan rutin yang terus menerus disebar, perlahan kekerasan visual itu akan menumpulkan nurani dan pikiran.
Jika kekerasan semakin lumrah, maka jangan berharap cepat nurani kita akan terasah lewat tindakan wicara. Apalagi kesadaran akan pentingnya keberaksaraan warga jauh dari kata mencerminkan kebudayaan.
Jadi tidak berlebihan jika siklus ini akan terus berulang. Sebab perang proxy akan terus mendapatkan tempat ketika warga negara kita masih berkubang dalam sumbu pendek peradaban.
Demokrasi harus dibangun dari keadaban wicara bukan pula tuna aksara.