80 Tahun Kemerdekaan Jangan Hanya Sebatas Lomba
Oleh: Fariz Maulana Akbar

Abadikini.com, JAKARTA – Delapan puluh tahun Indonesia merdeka, usia yang matang bagi sebuah bangsa. Tapi setiap Agustus, cara kita merayakan kemerdekaan sering kali masih sama. Berbagai perlombaan yang sudah menjadi tradisi tahunan seperti lomba balap karung, panjat pinang, makan kerupuk. Ramai, seru, penuh tawa. Tidak salah, tapi seringkali makna kemerdekaan berhenti di situ, seremonial dan hiburan semata.
Padahal kemerdekaan adalah sesuatu yang jauh lebih dalam. Ingat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928? Di situlah kita lahir sebagai sebuah Bangsa yang satu, bertumpah darah yang satu, berbangsa yang satu, menjunjung bahasa persatuan. Dari sumpah itu lahirlah Negara, pada 17 Agustus 1945. Jadi kemerdekaan bukan sekadar soal hadiah lomba, tapi perwujudan cita-cita kolektif, berdiri tegak sebagai bangsa merdeka, bermartabat, dan berdaulat.
Bung Karno pernah berpesan, dengan sebuah kata yang ikonik yaitu Jas Merah: “jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Dan beliau juga memberikan fondasi Trisakti: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan. Tiga pilar inilah yang seharusnya kita refleksikan setiap kali merayakan kemerdekaan.
Delapan puluh tahun merdeka, sudahkah kita benar-benar berdaulat? Atau politik kita masih sering tersandera kepentingan elite? Sudahkah ekonomi kita berdikari? Atau justru kita makin tergantung pada impor dan utang? Sudahkah kita berkepribadian dalam budaya? Atau kita justru sibuk meniru tanpa arah, hingga kehilangan jati diri?
Sayangnya, Konsepsi Trisakti yang digagas oleh Bung Karno sering terasa jauh panggang dari api. Politik kita masih rapuh oleh transaksionalisme, ekonomi kita masih bergantung pada impor dan utang, dan jati diri budaya kita sering terjebak dalam euforia global yang serba instan.
Di sisi lain, pembangunan demokrasi memang sudah membawa kemajuan. Kita bisa memilih pemimpin lewat pemilu, menyuarakan pendapat, bahkan mengkritik pemerintah tanpa takut dibungkam. Namun, demokrasi kita juga menghadapi tantangan serius, politik uang, polarisasi, dan lemahnya partisipasi warga. Demokrasi yang sehat bukan hanya soal kotak suara, tapi juga soal keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan sehari-hari.
Di era Revolusi Industri 4.0 dan menuju Society 5.0, tantangan bangsa semakin kompleks. Digitalisasi, kecerdasan buatan, otomasi, semua membuka peluang tapi juga menghadirkan risiko. Generasi muda kita harus siap, bukan hanya jadi penonton, apalagi korban. Kemerdekaan di abad ke-21 berarti merdeka dari ketertinggalan teknologi, merdeka dari jebakan digital yang menipu, dan merdeka untuk berinovasi serta memimpin perubahan.
Maka, kemerdekaan seharusnya tidak hanya diperingati dengan lomba tarik tambang di lapangan, tapi juga dengan “tarik tambang” ide, gagasan, dan visi masa depan. Tidak sekadar makan kerupuk di bawah tali rafia, tapi juga memastikan rakyat tidak lagi lapar dalam kehidupan nyata.
Indonesia 80 tahun merdeka harus berani menatap masa depan dengan proyeksi ideal, menjadi bangsa yang tidak hanya besar secara jumlah, tapi juga kuat dalam daya saing; tidak hanya ramai dalam euforia, tapi juga kokoh dalam substansi.
Mari rayakan kemerdekaan dengan gembira, tapi jangan berhenti di lomba-lomba yang dangkal makna. Kita perlu refleksi, kontemplasi, dan aksi nyata. Meneguhkan kembali cita-cita Sumpah Pemuda, semangat Proklamasi, dan ajaran Trisakti. Karena kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajah, tapi juga bebas dari ketidakadilan, kebodohan, dan ketergantungan.
Itulah cara paling sehat dan bermartabat untuk menghormati 80 tahun kemerdekaan bangsa ini.
Penulis adalah Direktur Jaringan Rakyat untuk Demokrasi Sehat dan Bermartabat (JARAK DEKAT)