Penundaan Eksekusi Silfester Matutina Dinilai Sarat Muatan Politik

Abadikini.com, JAKARTA – Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, menilai penundaan eksekusi terhadap Silfester Matutina bukan sekadar persoalan yuridis, melainkan kental dengan aroma politik. Ia menyesalkan di tengah panasnya situasi politik saat ini, hukum justru terkesan kabur dan kehilangan ketegasan.
“Seolah negara hukum tunduk pada kepentingan kelompok,” kata Azmi kepada Tempo, Rabu (13/8/2025).
Menurutnya, jika penundaan eksekusi disebabkan kedekatan Silfester dengan jejaring tokoh atau pihak berkuasa, maka yang terjadi adalah bentuk proteksi politik—bahkan bencana politik—karena kekuasaan disalahgunakan. Praktik kongkalikong semacam ini, lanjutnya, bisa hadir dalam berbagai bentuk: persekongkolan, saling melindungi, hingga sikap defensif demi kepentingan tertentu.
Silfester Matutina divonis 1 tahun 6 bulan penjara pada 2019 dalam perkara pencemaran nama baik mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Majelis hakim yang dipimpin H Andi Abu Ayyub Saleh dengan anggota H Eddy Army dan Gazalba Saleh menyatakan Silfester terbukti melanggar Pasal 311 Ayat 1 dan Pasal 310 Ayat 1 KUHP. Putusan Mahkamah Agung Nomor 287 K/Pid/2019 itu dibacakan pada 20 Mei 2019.
Namun, enam tahun berlalu, Kejaksaan Agung belum juga mengeksekusi vonis tersebut. Sorotan publik semakin tajam setelah pemerintah pada Maret 2025 mengangkat Silfester sebagai Komisaris Independen di BUMN ID Food (PT Rajawali Nusantara Indonesia).
Azmi menegaskan, penegakan hukum harus berdiri di atas prinsip kesetaraan di hadapan hukum, bukan menjadi alat dinasti kekuasaan. Jika hukum dimanfaatkan untuk melindungi kelompok tertentu, ia memperingatkan, kepercayaan publik akan runtuh dan fondasi demokrasi terancam hancur.
“Ini bukan sekadar pelanggaran hukum. Jika dibiarkan, akan menjadi catatan kelam dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia,” ujarnya.