Merawat Diplomasi Internasional Dalam Politik APBN
Oleh: Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin, M.Si

Abadikini.com, JAKARTA – Delapan tahun mengabdi di lingkaran Istana, saya menyaksikan langsung bagaimana kerja diplomasi Presiden menjadi penentu wajah Indonesia di mata dunia. Diplomasi itu bukan sekadar protokoler, bukan hanya urusan pidato dan pertemuan bilateral antarnegera. Diplomasi adalah denyut nadi sebuah negara dalam mempertahankan kehormatannya di tengah percaturan global yang semakin keras dan dinamis.
Di dunia internasional, siapa yang bicara bukan hanya Presiden. Tapi siapa yang tinggal setelah pertemuan selesai, itulah tugas duta besar.
Indonesia memiliki Presiden Prabowo Subianto. Di tahun pertamanya, beliau bergerak lebih cepat dari siapa pun, meskipun usia beliau tidak muda lagi. Dunia menyambut dengan penghormatan. Presiden hadir dalam forum-forum penting, berbicara lantang tapi elegan, membawa kepentingan nasional dengan postur yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Wibawa Indonesia bangkit. Dunia menoleh, lalu mengangguk.
Namun, kita tidak boleh larut dalam euforia. Diplomasi bukan hanya soal siapa yang tampil di panggung, tetapi siapa yang bekerja di belakang layar, setiap hari, tanpa henti. Duta besar dan tim adalah ujung tombak dari diplomasi kepala negara. Jika mereka lemah, maka diplomasi itu hanya akan menjadi gema, bukan gerak.
Realitas yang Tak Bisa Diabaikan
Mari kita lihat fakta yang menggugah hati. Singapura, negara yang lebih kecil dari kita, mengalokasikan anggaran diplomatik per kapita yang jauh lebih besar dibanding Indonesia. Dengan populasi sekitar 5,6 juta jiwa, anggaran Kementerian Luar Negeri Singapura mencapai lebih dari 5 triliun rupiah, atau lebih dari lima kali lipat dari alokasi per kapita Indonesia.
China menggelontorkan lebih dari USD 8 miliar per tahun untuk penguatan diplomasi publik dan pengaruh globalnya, melalui berbagai institusi termasuk Confucius Institutes. Korea Selatan memiliki anggaran diplomatik yang juga besar, dengan pendekatan kuat pada budaya, pendidikan, dan inovasi citra nasional.
Sementara itu, Indonesia negara dengan lebih dari 280 juta penduduk dan jaringan diplomatik yang tersebar di 132 perwakilan luar negeri—masih bergulat dengan keterbatasan struktural. Anggaran Kementerian Luar Negeri untuk 2025 hanya Rp7,86 triliun setelah efisiensi. Jika dibagi rata, praktis setiap kantor perwakilan hanya mengelola rata-rata Rp60 miliar per tahun. Sebuah angka yang terlihat besar di atas kertas, tapi nyaris tak cukup bila dibebani tugas-tugas representasi, promosi, perlindungan WNI, dan kerja diplomatik 24 jam.
Di banyak negara sahabat, diplomasi didukung oleh dana promosi ekonomi, budaya, bahkan ekosistem teknologi. Di Indonesia, anggaran tunjangan luar negeri (ADTLN) bahkan belum sepenuhnya dialokasikan, dan tak sedikit perwakilan kita harus berjibaku menjaga citra negara dengan anggaran yang jauh dari ideal.
Apakah kita akan membiarkan diplomasi berjalan dengan semangat, tapi tanpa bahan bakar?
Diplomasi Itu Investasi, Bukan Beban
Kritikus mungkin berkata: “Anggaran terbatas, ada sektor lain yang lebih mendesak.” Maka izinkan saya jawab, bahwa diplomasi yang kuat akan memperkuat banyak sektor. Ia membuka pintu investasi, meningkatkan ekspor, memperluas pengaruh budaya, dan memperkuat daya tawar Indonesia di forum global.
Korea Selatan menghasilkan lebih dari USD 12 miliar dari diplomasi budaya (Hallyu). Turki menaikkan perdagangan Afrika dari USD 5 miliar menjadi USD 25 miliar lewat strategi diplomatik yang konsisten.
Indonesia memiliki potensi lebih besar dari itu. Kita punya populasi besar, kekayaan budaya luar biasa, kekuatan geopolitik strategis, dan pemimpin dengan karisma global. Tapi kita belum memberi bensin yang cukup pada mesinnya. Seorang Dubes RI di Washington bisa menghadiri 200–300 acara resmi per tahun.
Hampir semua butuh dana representatif. Sementara duta besar dari negara-negara besar hadir dengan tim, protokol, dan dana promosi mapan, Dubes kita sering datang dengan idealisme dan kesederhanaan.
Presiden Prabowo telah membuka ruang-ruang diplomatik baru, menjalin relasi strategis dengan berbagai blok kekuatan dunia. Namun, tugas besar ini tidak akan bisa ditopang dengan struktur diplomasi yang lemah. Ini saatnya pemerintah dan DPR, terutama Komisi I, tidak hanya menyetujui pagu anggaran, tetapi menyuarakan nilai strategis dari diplomasi itu sendiri. Ini bukan soal berapa triliun, tapi seberapa besar kehormatan bangsa ingin kita jaga.
Dubes Mewakili Prabowo di Luar Negeri
Jika seluruh kedutaan besar Indonesia diberi anggaran layak untuk promosi budaya, pendidikan, ekonomi, dan kerja-kerja strategis, dampaknya bukan sekadar peningkatan gengsi nasional. Itu investasi jangka panjang untuk pembangunan dan posisi tawar kita di dunia.
Kepada para duta besar Indonesia, saya ingin katakan: kalian bukan sekadar pejabat negara. Kalian adalah Prabowo di luar negeri. Kalian adalah wajah Indonesia yang pertama kali dilihat oleh dunia. Tetaplah melangkah dengan kepala tegak. Kami berjuang agar suara kalian tak lagi dibisikkan di lorong-lorong sunyi, tapi digaungkan di ruang-ruang kebijakan nasional.
Karena diplomasi adalah kehormatan. Dan kehormatan harus dibela, bukan didiamkan. Karena investasi dalam diplomasi hari ini akan menentukan posisi Indonesia dua dekade ke depan.
Dan karena para dubes kita tidak meminta kemewahan, mereka hanya meminta kesempatan untuk berbuat maksimal bagi bangsa.
Semoga logika politik sederhana ini dapat dimengerti. Karena di balik surat-surat diplomatik, ada wajah Indonesia yang ditentukan: apakah ia disegani, atau dilupakan.
Penulis adalah:
Dewan Penasihat IKADIM Periode 2025-2030
Anggota Komisi I DPR RI
2004 – 2009
Ketua DPP Partai Golkar
Bidang Kebijakan Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasional
Guru Besar Hubungan Internasional
Busan University of Foreign Studies (BUFS) Korea Selatan