Serahkan Data WNI ke Amerika Serikat: Rakyat Online, Kedaulatan Offline
Oleh: Fariz Maulana Akbar Direktur Jaringan Rakyat untuk Demokrasi Sehat dan Bermartabat

Abadikini.com, JAKARTA – There is no intelligence without information. Dan di era digital ini, data adalah senjata yang paling senyap juga mematikan.
Setiap kali WNI menggunakan layanan Google, Facebook, Instagram, Zoom, atau WhatsApp, data mereka mencakup lokasi, preferensi, percakapan, hingga kebiasaan konsumsi mengalir ke luar negeri. Sebagian besar ke server perusahaan raksasa teknologi berbasis di Amerika Serikat.
Bagi orang awam, ini hal biasa. Tapi bagi intelijen dan pengambil kebijakan strategis, ini adalah ancaman yang sangat nyata.
Peluang yang Dibarter dengan Kedaulatan
Tak dapat disangkal, era digital membawa banyak peluang. Transformasi layanan publik, efisiensi birokrasi, pertumbuhan e-commerce dan konektivitas global. Semuanya dimungkinkan oleh teknologi digital yang sebagian besar berbasis di luar negeri. Indonesia tidak bisa menutup diri dari arus global itu.
Namun, ketika terlalu banyak data WNI disimpan dan diproses di luar yurisdiksi nasional, kita sebenarnya melepaskan kendali strategis atas informasi domestik. Apalagi, AS memiliki Cloud Act yang memungkinkan lembaganya mengakses data warga negara lain dari perusahaan mereka, bahkan tanpa persetujuan negara asal, dalam hal ini Indonesia.
Ancaman dari Perspektif Intelijen
Orang awam tentu paham bahwa dunia intelijen bergantung dari informasi data. Di era Big Data, informasi yang dikumpulkan dari aktivitas digital warga negara bisa digunakan untuk melakukan profiling pejabat dan elite nasional. Mendeteksi kerawanan sosial-politik sebelum pemerintah sendiri menyadarinya dan terakhir yang tak kalah berbahaya dapat digunakan mengarahkan opini publik dengan intervensi algoritmik.
Dengan akses ke Big Data WNI, kekuatan asing bisa mengatur suhu sosial dari jauh, tanpa pasukan, tanpa senjata. Karena saat ini, data adalah senjata yang tak terlihat, tapi mampu mengguncang fondasi negara.
Persepsi Ancaman yang Belum Seragam
Masih banyak kementerian dan lembaga negara yang melihat isu data digital sebagai urusan teknis belaka. Padahal, data adalah aset geopolitik. Ketika persepsi ancaman tidak seragam, kebijakan perlindungan data rentan terjebak dalam tumpang tindih atau malah diabaikan.
Melihat potensi ancaman dan kerawanan yang ada menyangkut data pribadi WNI yang diserahkan ke Amerika Serikat mengingat kapabilitas intelijen siber nasional yang masih belum mapan dan memadai. Maka perlu dilakukan sejumlah langkah strategis.
Pertama, bangun kesadaran strategis lintas Kementerian/Lembaga bahwa transfer data digital adalah persoalan keamanan nasional. Kedua, implementasikan lokalisasi dan sekuritisasi data untuk sektor-sektor strategis seperti pertahanan, keuangan, kesehatan, dan birokrasi. Ketiga, audit menyeluruh penggunaan teknologi asing di lembaga negara, termasuk potensi kebocoran lewat backdoor. Keempat, perkuat kapasitas intelijen siber nasional agar mampu membaca ancaman lewat analisis Big Data, bukan hanya merespons serangan. Dan terakhir, penguatan kapasitas para pengambil kebijakan tentang risiko digital, karena tak ada perlindungan tanpa pemahaman.
Kita tak bisa lagi memandang data hanya sebagai produk sampingan aktivitas daring. Ia adalah komoditas strategis, senjata geopolitik, bahkan alat penjajahan baru. Bila kita tak segera mengambil alih kendali, jangan salahkan siapa pun jika arah bangsa ini kelak ditentukan bukan oleh rakyatnya, melainkan oleh mereka yang menguasai datanya.
Harus disadari di era digital saat ini, kedaulatan tidak hanya soal wilayah, tapi soal siapa yang mengendalikan informasi menyangkut warga negaranya. Tentu kita semua tak menginginkan jika rakyat online tapi kedaulatan negara malah offline.