Presiden Trump Klaim Jadi Penengah Konflik Thailand–Kamboja, AS Ambil Posisi Strategis

Abadikini.com, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali memposisikan dirinya sebagai tokoh penentu dalam krisis internasional. Kali ini, ia mengklaim bahwa Thailand dan Kamboja telah menyatakan kesediaan untuk merundingkan gencatan senjata, di tengah bentrokan mematikan di perbatasan yang menewaskan sedikitnya 30 orang.
Melalui unggahan di platform pribadinya, Truth Social, Minggu (27/7), Trump menyatakan bahwa kedua negara Asia Tenggara itu ingin mengakhiri konflik dan kembali ke jalur diplomasi. Meski belum ada proses resmi, Trump mengaku telah mendapatkan komitmen informal dari kedua belah pihak.
“Kedua pihak ingin gencatan senjata dan damai secepat mungkin. Mereka juga ingin berbicara kembali dengan Amerika Serikat. Tapi itu belum tepat selama senjata masih berbicara,” tulisnya.
Trump, yang tengah berada di Skotlandia, menggunakan momen ini untuk menegaskan posisi Amerika tak ada kesepakatan dagang selagi konflik berlangsung. Ia bahkan memperingatkan langsung Perdana Menteri Kamboja Hun Manet dan Penjabat PM Thailand Phumtham Wechayachai agar menghentikan eskalasi jika tak ingin kehilangan akses ekonomi ke Washington.
“Saya menahan semua perjanjian perdagangan. Jika mereka terus berperang, kita tak akan lanjut! Tapi jika perdamaian tercapai, kita akan segera selesaikan semuanya,” katanya.
Pernyataan Trump tak hanya menunjukkan kepedulian atas stabilitas kawasan, tetapi juga menggambarkan strateginya dalam menjadikan perdamaian sebagai syarat dagang. Ia juga membandingkan konflik ini dengan ketegangan India-Pakistan yang menurutnya berhasil ia redakan awal tahun ini.
“Banyak orang tewas, tapi ini mirip dengan konflik India dan Pakistan. Itu berhasil kita hentikan. Kami tidak ingin berbisnis dengan negara yang sedang berperang. Dan saya sudah katakan itu!” ujarnya.
Di balik seruan damai itu, banyak pihak menilai Trump tengah membangun citra sebagai penentu arah dunia. Di tengah pencalonannya kembali dalam Pilpres AS, ia tampaknya ingin memperkuat narasi bahwa hanya dengan kepemimpinannya, stabilitas global dan ekonomi bisa berjalan seiring.