Prabowo di Tengah Rivalitas Global
Oleh: Ali Mochtar Ngabalin

Abadikini.com, JAKARTA – Di tengah dunia yang terpecah dua, di antara dominasi Amerika dan kebangkitan blok BRICS, Indonesia tidak ikut hanyut dalam dikotomi global.
Presiden Prabowo Subianto membuktikan bahwa kekuatan bukan hanya ditentukan oleh senjata dan sanksi, tetapi oleh kecerdikan membaca peta dunia dan kejelian membangun jembatan di atas jurang geopolitik. Inilah wajah baru diplomasi Indonesia: luwes tapi tegas, bersahabat tapi berprinsip. Bukan menjadi satelit kekuatan besar, melainkan poros mandiri yang mulai ikut menentukan arah arus.
Beda Benua, Satu Kepentingan
Baru beberapa bulan memimpin, Prabowo sudah berbicara secara langsung dengan Donald Trump dan Emmanuel Macron.
Kepada Trump, ia bukan hanya menyampaikan protes terhadap tarif 32% atas produk Indonesia, tapi justru berhasil memutarbalikkan keadaan menjadi kesepakatan dagang senilai USD 34 miliar; penurunan tarif jadi 19%; plus komitmen pembelian pesawat Boeing dan energi AS.
Ini bukan diplomasi gombal; ini real deal ditulis, disetujui, diumumkan langsung oleh Trump sendiri. Tapi Prabowo tidak berhenti di satu kutub. Ia pun duduk bersama Presiden Prancis di Istana Élysée, berbicara tentang Timur Tengah dan pentingnya solusi dua negara untuk Palestina.
Percakapan ini tidak hanya bersifat simbolis, tapi menjadi penegasan bahwa Indonesia tetap berdiri di atas prinsip keadilan dan perdamaian. Di saat banyak negara gamang menentukan sikap, Prabowo melangkah mantap di antara dua kekuatan dunia. Ia bukan hanya menjembatani perbedaan, tapi justru menciptakan ruang kolaborasi yang baru; itulah esensi diplomasi multi-track.
Partai Golkar, sebagai pilar koalisi pemerintahan, melihat ini sebagai implementasi dari arah politik luar negeri yang kami perjuangkan: bebas aktif, tapi cerdas dan taktis. Ketika saya bicara dalam berbagai forum internasional, satu hal yang saya bawa adalah narasi bahwa Indonesia tidak lagi sekadar mengikuti angin global. Indonesia adalah angin itu. Kita adalah poros di tengah pertarungan hegemoni.
Prabowo dan Politik Luar Negeri
Diplomasi multi-track bukanlah kemewahan, tapi keniscayaan. Dunia sudah multipolar. Hanya negara yang adaptif dan lincah yang akan bertahan. Prabowo tahu itu. Ia bukan diplomat akademik yang berbicara dengan teks, tapi pemimpin yang berbicara dari pengalaman tempur; dari interaksi bisnis global; dari jejaring personal yang kuat dengan tokoh-tokoh dunia.
Golkar menyadari pentingnya memperluas diplomasi ke sektor-sektor kunci: keamanan energi; ketahanan pangan; industri pertahanan; dan diplomasi maritim. Kami bukan partai penonton. Kami mendorong agar Indonesia tidak lagi menjadi price taker dalam urusan global, melainkan ikut menentukan arah kebijakan dunia. Inilah bentuk konkret peran partai politik dalam memperkuat posisi internasional negara.
Risiko tentu ada. Bermain di dua kutub berarti harus menari dengan dua musik yang berbeda. Tapi justru di sinilah kecemerlangan strategi Prabowo: menjaga kredibilitas di mata Barat tanpa kehilangan simpati di Selatan Global. Sebuah langkah yang memerlukan keteguhan prinsip dan fleksibilitas taktis yang jarang dimiliki pemimpin dunia saat ini.
Dari perbincangan telepon hangat dengan Trump hingga jamuan makan malam elegan dengan Macron; dari janji investasi hingga solidaritas untuk Palestina—semua ini menyatu dalam satu narasi besar: Indonesia telah memasuki babak baru diplomasi luar negeri. Bukan sebagai follower, tapi sebagai rule shaper.
Dan di tengah panggung dunia yang gaduh, Prabowo tidak berteriak. Ia berjalan tenang, membawa nama Indonesia dengan kehormatan.
Maka jangan heran bila dunia mulai memandang ke Jakarta; bukan hanya ke Washington atau Beijing. Multi-track diplomacy bukan sekadar strategi. Diplomasi semacam ini kini menjadi wajah baru kekuatan Indonesia di abad ke-21.
Penulis adalah Ketua DPP Partai Golkar Bidang Kebijakan Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasional
Guru Besar Hubungan Internasional, Busan University of Foreign Studies (BUFS), Korea Selatan)