Kejaksaan Ngebut, KPK Masih Parkir di Kasus Politik
Oleh: Muhammad Nauval

Abadikini.com, JAKARTA – Beberapa waktu terakhir, publik menyaksikan kontras yang mencolok antara dua lembaga penegak hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung. Yang satu tancap gas bongkar korupsi triliunan, yang satu lagi sibuk mengurus kasus politik lama sambil menoleh kiri-kanan, seolah khawatir tersandung tembok kekuasaan.
KPK terlihat begitu bersemangat mengejar Hasto Kristiyanto dalam pusaran kasus Harun Masiku. Sidang digelar, pledoi ditolak, dan media dibanjiri kabar soal dugaan perintangan penyidikan. Padahal, perkara ini tidak menyentuh uang rakyat secara langsung. Namun, sorotan dan energi hukum yang dikerahkan begitu besar, seolah menjadi prioritas nasional.
Sementara itu, Kejaksaan Agung tampil sebagai lembaga yang tak ragu menggulung para pelaku korupsi kelas berat. Dalam beberapa bulan terakhir, Kejaksaan berhasil mengungkap skandal besar, mulai dari korupsi komoditas pangan, tambang, hingga proyek strategis nasional. Para tersangka bukan sekadar pejabat level menengah, tapi juga mencakup elit korporasi dan birokrat pusat. Tidak banyak gimik, tidak banyak narasi politik yang ada hanya kerja, kerja, dan kerja.
Kontras ini menimbulkan pertanyaan publik yang sangat wajar ke mana taring KPK yang dulu begitu ditakuti? Kenapa semangatnya seolah hanya muncul ketika berhadapan dengan lawan politik, tapi mendadak hilang ketika menyentuh lingkar kekuasaan?
Contoh paling segar datang dari Sumatera Utara. Dalam kasus dugaan suap proyek jalan bernilai ratusan miliar, KPK berhasil melakukan OTT dan menetapkan sejumlah pejabat provinsi sebagai tersangka. Namun, hingga kini, Gubernur yang menjadi atasan langsung para tersangka belum juga dimintai keterangan. KPK berdalih masih mengumpulkan bukti. Tapi publik tahu, andai kasus ini melibatkan tokoh dari luar kekuasaan, prosesnya bisa sangat cepat dan terbuka.
Bandingkan dengan Kejaksaan. Lembaga ini tak segan memanggil siapapun, termasuk tokoh nasional, menteri, bahkan petinggi korporasi negara. Mereka tak menunggu tekanan publik, apalagi menunggu “restu” kekuasaan. Selama ada indikasi dan alat bukti yang cukup, langkah hukum langsung dijalankan. Tegas dan lugas.
KPK, sebaliknya, terkesan terlalu hati-hati. Bahkan cenderung menahan diri ketika kasus mulai menyentuh elite atau keluarga penguasa. Dalam kasus korupsi dana hibah Jawa Timur, misalnya, proses pemeriksaan terhadap kepala daerah dilakukan dalam senyap. Tidak ada penjelasan ke publik. Tidak ada transparansi soal posisi hukum sang pejabat. Semuanya seolah diredam.
Padahal, KPK dulu dikenal sebagai lembaga yang frontal dan tak pandang bulu. Lembaga ini pernah menahan ketua partai besar, menteri aktif, bahkan menjungkal calon presiden dari kursi pencalonan karena kasus korupsi. Tapi hari ini, keberanian itu tampaknya sudah melemah. Yang tersisa hanya semangat mengejar kasus-kasus politis yang bisa menarik sorotan, tapi minim dampak terhadap kerugian negara.
Masalahnya bukan sekadar soal siapa yang ditangani, tapi bagaimana standar hukum ditegakkan. Jika kasus yang merugikan negara ratusan miliar dibiarkan menggantung tanpa tindakan terhadap aktor utama, maka penegakan hukum kehilangan makna. Apalagi jika pada saat yang sama, kasus politik lama yang lebih banyak menyisakan intrik ketimbang bukti kerugian justru dijadikan panggung utama.
Dalam logika pemberantasan korupsi, kepala daerah adalah figur kunci. Ia punya kewenangan anggaran, kuasa atas proyek, dan akses ke birokrasi. Maka wajar bila publik menuntut agar seorang gubernur dipanggil ketika proyek di bawahnya terbukti menjadi ladang suap. Itu bukan bentuk politisasi, tapi justru bagian dari akuntabilitas demokratis.
Tapi KPK tampaknya lebih nyaman bergerak di zona aman. Kasus-kasus besar yang melibatkan uang rakyat ditangani dengan tempo lambat, sedangkan kasus politis digarap cepat, penuh drama.
Sementara itu, Kejaksaan terus membangun kredibilitas. Mereka tidak sekadar menjerat pelaku, tapi juga memulihkan kerugian negara. Aset disita, uang dikembalikan, jaringan korupsi dibongkar. Tidak semua sempurna, tapi setidaknya Kejaksaan menunjukkan arah yang jelas perang terhadap korupsi sebagai kejahatan luar biasa.
Kini, publik tak bisa menutup mata KPK dan Kejaksaan sedang dipertandingkan secara tidak langsung di arena kepercayaan rakyat. Dan sejauh ini, Kejaksaan unggul jauh dalam hal konsistensi, keberanian, dan dampak nyata.
Kalau KPK tidak segera berbenah, jangan heran kalau ke depan, lembaga ini hanya dipandang sebagai alat politik yang kehilangan roh. Yang dulu dianggap benteng terakhir rakyat melawan korupsi, kini hanya jadi papan catur elite untuk mengatur langkah-langkah taktis demi kepentingan jangka pendek.
Penegakan hukum tidak butuh drama. Ia butuh ketegasan dan integritas. Bila Kejaksaan bisa menunjukkan itu, maka tak ada alasan KPK tidak mampu. Kecuali memang ada yang sengaja menahan, atau KPK sendiri sudah lupa bagaimana rasanya berani.