Putusan MK Dinilai Inkonstitusional, Tabrak dan Melawan UUD 1945

Abadikini.com, JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru yang memisahkan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) nasional dan lokal menuai kritik tajam. Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Rendy NS. Umboh, secara tegas menyatakan bahwa keputusan tersebut melawan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) di Jakarta, Senin, 30 Juni 2025, Rendy NS. Umboh tidak ragu melontarkan pernyataan keras.
“Apa yang berbeda dengan Putusan MK 135/2024? Yang saya katakan di awal tadi, MK menabrak UUD 45, MK melawan UUD 45, MK inkonstitusional, keputusan MK itu inkonstitusional,” ujarnya.
Pelanggaran Amanat Konstitusi tentang Keserentakan Pemilu
Menurut Rendy, UUD 1945 secara jelas mengamanatkan lima jenis pemilihan sebagai satu rumpun yang sama, yang dalam pelaksanaannya harus berada pada satu fase. Ia merujuk pada beberapa pasal dalam UUD 1945:
▪︎ Pasal 6A: “Presiden Wakil Presiden, dipilih melalui pemilihan umum.”
▪︎ Pasal 19: “Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum.”
▪︎ Pasal 22C: “Dewan Perwakilan Daerah dipilih melalui pemilihan umum.”
▪︎ Pasal 18 ayat 3: “DPRD dipilih melalui pemilihan umum.”
Karena semua jenis pemilihan tersebut masuk dalam kategori “pemilihan umum”, Rendy kemudian menekankan Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur prinsip pelaksanaannya: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber-jurdil) setiap 5 tahun sekali.”
Lebih lanjut, Rendy menegaskan kembali bunyi Pasal 22E ayat 2 yang secara eksplisit menjelaskan keserentakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
Ia menambahkan, “Ini pemilihan umum yang harusnya dilakukan 5 tahun sekali untuk memilih, memilih DPRD provinsi dan kabupaten/kota lewat ayat yang sama.”
Euforia Jeda Pemilu dan Terabaikannya Konstitusi
Atas dasar hukum konstitusional tersebut, Rendy menganggap masyarakat kurang memperhatikan hal krusial dalam putusan MK, yaitu perubahan ketentuan model keserentakan pemilu yang sebelumnya diatur dalam Pasal 167 ayat (3) UU 7/2017 tentang Pemilu.
“Sekarang, lewat keputusan yang kali ini, maka yang terjadi adalah, yang dalam perhatian publik, saya mau katakan orang sekarang terjebak dalam euforia jeda 2 tahun, yang diinginkan oleh penyelenggara KPU-Bawaslu se-Indonesia, itu pikiran kecilnya,” ucap Rendy.
Ia menutup dengan peringatan keras, tapi pikiran besarnya yang terlewat di sini adalah, lewat euforia orang-orang seluruh di Indonesia, orang-orang luput bahwa MK menabrak konstitusi. “Karena jelas tugas MK adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.”