PMI Merosot: Sinyal Dini Kelesuan Industri yang Tak Boleh Diabaikan

Abadikini.com, JAKARTA – Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers’ Index/PMI) Indonesia kembali mencatatkan pelemahan pada April 2025, turun dari 47,4 ke 46,7 (S&P Global Market, yang dirilis Tempo, 2 Juni 2025). Ini menjadi level terendah sejak Agustus 2021, sekaligus menandai bulan ketiga berturut-turut PMI berada di bawah ambang batas 50 yang memisahkan antara ekspansi dan kontraksi sektor manufaktur. PMI > 0,50 berarti kondisi manufaktur yang menunjukkan arah ekspansi, PMI < 0,50 berarti kondisi manufaktur yang menunjukan arah kontraksi. Salah satu indikator di pasar barang adalah “fenomena diskon untuk menaikan penjualan”, termasuk di sektor perumahan.

Meski data ini tampak sederhana, namun penurunan PMI bukanlah sekadar angka teknis. Ia adalah sinyal dini yang penting. PMI, sebagai indikator leading (mendahului) dan coincident (seiring waktu) dalam ekonomi, merekam secara cepat denyut permintaan, kapasitas produksi, tingkat persediaan, serta optimisme pelaku usaha—bahkan sebelum angka-angka resmi seperti PDB, konsumsi, atau ekspor dirilis. Dalam konteks ini, kontraksi PMI memberikan cermin atas kondisi riil yang sedang dialami sektor industri, dan oleh karenanya, perlu dicermati secara serius oleh pemerintah dan dunia usaha.

Di Balik Angka PMI : Apa yang Sebenarnya Terjadi?

PMI adalah leading indicator kondisi ekonomi yang diperkenalkan oleh Institute for Supply Managenent (ISM) Amerika Serikat, yang mulai menerbitkan survei bulanan berbasis opini manajer pembelian sejak 1948. Mereka menyusun indeks yang mencerminkan arah tren ekonomi (bukan tingkat atau besarnya), dengsn menggunakan data dari sektor manufaktur. Landasan teorinya berbasis Teori Leading Indicators (Burns &Mitchell, 1946) dan Teori Eksoektasi Bisnis dan Koefisien Pelaku Usaha (Keynesian tradition). Short-run economic activity model yang menyatakan bahwa fluktuasi output dan tenaga kerja dalam jangka pendek bisa dipantau lewat niat dan ekspektasi pelaku usaha. Prinsip dasarnya, manajer pembelian berada di garis depan rantai nilai (value chain), sehingga perubahan dalam pesanan, produksi, dan persediaan menjadi sinyal awal atas kondisi ekonomi. Dalam formula PMI, bobot tertinggi adalah “New Orders” (30%) disusul “output/production” (25%). Dalam konteks PMI Indonesia yang sedang diperbincangkan dalam opini ini, karena survei dilakukan sebelum data makro resmi – memberikan “early warning” bagi pemerintah, bank sentral (BI) dan pelaku usaha. Indikator permintaan agregat masa depan berkorelasi kuat dengan investasi dan output industri, ada indikasi perusahaan menguras stok dari pada menambah pembelian bahan baku, di sisi lain perusahaan menyesuaikan tenaga kerja dengan ekspektasi permintaan, ada lonjakan PHK.

Penurunan PMI Indonesia tidak terjadi dalam ruang hampa. Ada sejumlah faktor yang menopang tren melemahnya sektor manufaktur nasional. Pertama, dari sisi permintaan domestik, konsumsi masyarakat tampak belum sepenuhnya pulih pasca-Lebaran. Kenaikan harga energi dan bahan pangan turut menekan daya beli, sementara serapan belanja pemerintah (government expenditure) di kuartal pertama 2025 masih rendah. Hal ini menyebabkan pesanan baru yang diterima perusahaan manufaktur, baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor, mengalami penyusutan, alias ada tekanan permintaan.

Kedua, dari sisi eksternal, tekanan dari melemahnya permintaan global dan meningkatnya hambatan dagang ikut menekan industri nasional. Beberapa sektor unggulan seperti tekstil, alas kaki, dan komponen elektronik menghadapi tantangan besar akibat turunnya pesanan dari Amerika Serikat dan Eropa. Tarif tambahan yang diberlakukan di negara mitra dagang utama juga memperlemah daya saing harga produk ekspor Indonesia.

Ketiga, tekanan dari sisi biaya produksi semakin nyata. Pukulan ini datang berbarengan dengan tekanan permintaan. Perusahaan menghadapi kenaikan harga bahan baku impor karena depresiasi nilai tukar, kenaikan tarif listrik, serta biaya logistik yang belum sepenuhnya membaik pasca pandemi. Di saat yang sama, ruang untuk menaikkan harga jual sangat terbatas karena lemahnya permintaan, sehingga margin keuntungan tertekan dan keputusan ekspansi produksi tertunda. Tertundanya ekspasi menandai turunnya investasi, ini akan melemahkan permintaan modal kerja dan investasi di sektor keuangan, khususnya pernankan.

Kontraksi yang Berpotensi Menciptakan Efek Domino

Kondisi ini kemudian memicu efek berantai (domino). Sejumlah perusahaan memilih menahan pembelian bahan baku dan memanfaatkan persediaan yang ada. Kegiatan perekrutan tenaga kerja melambat, bahkan di beberapa sentra industri seperti di Jawa Tengah dan Riau, telah terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tidak sedikit. Data yang dilansir Asosiasi Pengusaha menyebutkan lebih dari 24.000 pekerja manufaktur telah kehilangan pekerjaan sejak awal tahun ini (Menaker Yassierli, TvOnenews.com).

Jika tidak segera direspons, kontraksi ini berpotensi menggerus kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yang selama ini stabil di kisaran 17–19 persen. Pelemahan ini juga dapat mempersempit ruang fiskal, karena menurunnya penerimaan pajak dari sektor industri dan berkurangnya potensi ekspor non-komoditas.

Apa yang Harus Diwaspadai?

Pemerintah dan dunia usaha perlu waspada terhadap beberapa konsekuensi yang bisa muncul apabila tren kontraksi ini terus berlanjut. Pertama, risiko pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terkoreksi di bawah 5 persen (4 87%, BPS, 5 Mei 2025) sangat nyata. Kedua, tekanan sosial akibat peningkatan pengangguran di sektor manufaktur bisa menciptakan gangguan dalam konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi motor utama ekonomi nasional.

Ketiga, meningkatnya tekanan terhadap nilai tukar dan defisit neraca transaksi berjalan dapat memicu gejolak di sektor keuangan, terutama jika data PMI yang lemah ini mengurangi kepercayaan investor portofolio global. Keempat, kerentanan fiskal (fiscal vulnerability) akan meningkat seiring dengan perlambatan penerimaan negara dan kebutuhan akan stimulus belanja sosial yang makin besar.

Bagi dunia usaha, ancaman tidak hanya datang dari menurunnya permintaan, tetapi juga dari memburuknya arus kas perusahaan akibat siklus konversi modal kerja yang semakin panjang. Perusahaan kecil dan menengah, termasuk pelaku usaha dalam rantai pasok industri (UMKM), berisiko mengalami kesulitan likuiditas atau gagal bayar (default).

Jalan ke Depan: Mitigasi Dini dan Respons Terukur

Apa yang perlu dilakukan? Dibutuhkan langkah-langkah responsif dan terarah untuk membendung pelemahan ini. Pemerintah perlu mempercepat realisasi belanja modal dan sosial dalam APBN/APBD yang berdampak langsung pada sektor padat karya. Stimulus fiskal berbentuk insentif listrik industri bersyarat (misalnya potongan tarif bagi perusahaan yang tidak melakukan PHK) bisa menjadi pulihan kebijakan, atau pembebasan bea masuk bahan baku strategis (untuk 6 bulan ke depan), dapat menjadi alat bantu jangka pendek yang efektif.

Di sisi lain, upaya diversifikasi pasar ekspor, seperti perluasan pasar ke Timur Tengah dan Afrika, perlu dipercepat melalui perjanjian perdagangan bebas yang aktif dan promosi standarisasi produk (halal, TKDN, dll). Reformasi logistik dan percepatan digitalisasi proses ekspor-impor juga menjadi bagian penting dari respon sistemik.

Bagi dunia usaha, saat ini adalah momentum untuk memperkuat efisiensi operasional dan membangun ketahanan rantai pasok. Adopsi teknologi Industri 4.0, pemanfaatan supply chain financing, serta kolaborasi antarpelaku usaha untuk berbagi kapasitas produksi/logistik dapat menjadi bagian dari solusi jangka menengah.

Penutup: Dengarkan Sinyal Dini

PMI bukanlah sekadar indeks teknis; ia adalah suara jantung sektor industri. Dan ketika jantung ini berdetak lemah selama tiga bulan berturut-turut, maka ini adalah sinyal penting yang tak boleh diabaikan. Respons dini akan selalu lebih murah daripada perbaikan pasca-kerusakan. Oleh karena itu, mari menjadikan penurunan PMI ini sebagai momentum koreksi, bukan alasan untuk panik. Dengan kebijakan yang cermat dan sinergi lintas sektor, kita dapat mengembalikan daya tahan industri nasional dan menjaga pertumbuhan ekonomi tetap inklusif dan berkelanjutan.