Ketika Warga Tak Dilibatkan, Pendidikan Gagal Membebaskan
Oleh: Fariz Maulana Akbar salah seorang orang tua murid di Sangihe sekaligus inisiator Koalisi Orang Tua Murid Peduli Akses Sekolah (KOMPAS)

Abadikini.com, JAKARTA – Di Kabupaten Kepulauan Sangihe, proses Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) ditetapkan dari atas oleh Dinas Pendidikan kemudian disampaikan ke sekolah, lalu masyarakat mengikuti. Tapi di balik jalannya sistem itu, banyak suara warga yang tak pernah terdengar, bahkan tak diberi ruang.
Orang tua atau calon peserta didik hanya tahu kapan mulai daftar, ke mana harus pergi, dan syarat apa yang dibawa. Tapi mengapa syaratnya begitu? Mengapa jangkauan domisilinya seperti itu? Mengapa pilihan sekolahnya terbatas? Semua sudah diputuskan secara sepihak tanpa melalui diskusi, konsultasi dan uji publik sehingga tidak ada transparansi dan ruang partisipasi dari warga.
Dalam suasana seperti ini, pendidikan tidak lagi membebaskan, melainkan menindas secara halus. Dan di sinilah kritik Paulo Freire, seorang pendidik radikal dari Brasil, menjadi sangat penting.
Pendidikan Tanpa Partisipasi Adalah Proyek Kekuasaan
Menurut Freire, pendidikan harus dibangun di atas dialog, yakni perjumpaan yang setara antara rakyat dan negara, antara pendidik dan yang dididik. Tanpa itu, pendidikan menjadi “gaya bank”: murid (dan warga) dianggap pasif, hanya menerima dan menghafal keputusan yang datang dari atas.
SPMB perdana Sangihe saat ini tidak memberi ruang bagi partisipasi warga. Warga tidak diajak berdiskusi saat aturan atau Petunjuk Teknis (Juknis) disusun. Tidak ada forum terbuka untuk bertanya atau mengkritik. Tidak ada mekanisme evaluasi dari akar rumput.
Inilah bentuk nyata dari “kebisuan struktural” yang dikritik Freire: masyarakat tidak hanya dibungkam, tapi juga dibuat merasa bahwa mereka memang tak berhak bicara.
Transparansi yang Buram, Kepercayaan yang Rapuh
Ketiadaan transparansi dalam SPMB menciptakan spekulasi dan ketidakpercayaan. Beberapa orang tua bertanya-tanya:
“Kok anak saya tidak diterima, padahal nilainya bagus?”
“Kenapa anak itu diterima padahal rumahnya lebih jauh?”
“Anak saya akhirnya bisa sekolah dimana?”
Tanpa penjelasan terbuka, sistem kehilangan wibawa. Ketika proses tidak transparan, maka pendidikan berubah dari hak publik menjadi hak istimewa bagi yang ‘tahu jalan belakang’.
Dan ketika masyarakat merasa prosesnya tidak adil, maka pendidikan justru menjauh dari fungsinya sebagai alat pemerataan dan keadilan sosial, persis seperti yang dikhawatirkan Freire.
Kembalikan Pendidikan kepada Rakyat
Jika kita setuju bahwa pendidikan adalah hak semua warga negara, maka kebijakan penerimaan murid pun harus lahir dari suara rakyat. Artinya:
- SPMB di Sangihe harus melibatkan masyarakat sejak awal, bukan hanya sebagai penerima informasi, tapi dilibatkan dalam diskusi untuk merumuskan kebijakan (Juknis).
- Harus ada mekanisme aduan dan evaluasi yang jelas dan bisa diakses semua kalangan.
- Dinas Pendidikan harus membuka ruang dialog: mengapa kebijakan ini diambil, apa pertimbangannya, dan bagaimana semua warga bisa diperlakukan adil.
Freire menyebut ini sebagai “pendidikan sebagai praksis kebebasan” karena melalui proses sadar, partisipatif, dan saling memberdayakan.
Pendidikan Bukan Sekadar Administrasi
SPMB bukan sekadar urusan teknis pendaftaran. Ia adalah pintu masuk anak-anak kita ke masa depan. Jika pintu itu dijaga oleh sistem yang tidak transparan dan tidak partisipatif, maka ia hanya akan membuka bagi sebagian kecil orang yang dekat dengan pusat kekuasaan.
Sudah waktunya kita hentikan model “kami atur, kalian ikut.” Saatnya beralih ke semangat: “kita rumuskan bersama, kita jalankan bersama.” Karena seperti kata Paulo Freire: “Tidak ada pendidikan netral; ia berpihak: pada penindasan atau pada pembebasan.”
Mari bergerak bersama untuk arah baru pendidikan yang partisipatif, transparan dan berkeadilan.