Dokter Gugat Batas Usia Dewan Pengawas dan Direksi BPJS ke MK: Dinilai Diskriminatif

Abadikini.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) telah memulai sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 89/PUU-XXIII/2025 pada Rabu (4/6/2025). Gugatan ini diajukan oleh seorang dokter, Muh. Arief Rosyid Hasan, yang mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 25 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). Pasal ini mengatur ketentuan usia minimal dan maksimal untuk menjadi anggota Dewan Pengawas dan Direksi BPJS.
Kuasa hukum Pemohon, Sirajuddin, dalam persidangan menyatakan bahwa ketentuan usia yang membatasi calon anggota berusia paling rendah 40 tahun dan paling tinggi 60 tahun bertentangan dengan prinsip keadilan, persamaan di hadapan hukum (equality before the law), dan perlindungan hak asasi manusia.
“Pembatasan tersebut tidak sejalan dengan prinsip negara hukum yang menjamin kesetaraan hak setiap warga negara,” tegas Sirajuddin di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.
Meskipun menyadari bahwa syarat usia merupakan bagian dari kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, Pemohon menilai bahwa dalam kasus ini, ketentuan tersebut justru menimbulkan pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara. Oleh karena itu, Pemohon meminta MK untuk menyatakan pasal tersebut inkonstitusional bersyarat.
Ini berarti pasal tersebut akan tetap konstitusional, namun dengan syarat tidak dimaknai mencakup individu yang memiliki pengalaman manajerial pada institusi atau entitas yang menyelenggarakan pelayanan publik atau berkontribusi terhadap kepentingan umum.
Pemohon, yang saat ini berusia 39 tahun, mengklaim telah memiliki pengalaman manajerial yang relevan. Pengalamannya mencakup posisi sebagai komisaris di PT Bank Syariah Mandiri, PT Merial Insan Medika, dan PT Merial Media Utama.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memberikan beberapa catatan penting terkait struktur permohonan. Daniel meminta Pemohon untuk memperbaiki bagian posita dan petitum, serta memperhatikan penulisan sistematika dan norma yang dimohonkan untuk diuji.
“Posita dan petitum Pemohon semua tiga romawi. Coba dilihat, di halaman 32 harusnya itu empat romawi. Nanti disesuaikan. Juga terkait istilah ‘uji materiil’, sebaiknya ditulis dengan dua huruf i, dan penulisan pasal diperhatikan kembali,” jelas Daniel seperti dilansir dari laman resmi MK.
Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Revisi permohonan paling lambat harus diterima MK pada Selasa, 17 Juni 2025.