Diklaim Masih Leluhur Miftah Maulana, Ini Dia Profil Kiai Hasan Besari Ulama Kondang Asal Ponorogo

Abadikini.com, JAKARTA – Kiai Ageng Muhammad Besari atau yang dikenal sebagai Hasan Besari belakangan menjadi viral lantaran diklaim sebagai leluhur Gus Miftah.
Setelah video viral Gus Miftah mengolok penjual es teh, kini netizen mengulik kembali identitas dengan menyertakan berbagai pernyataan dari pemilik pesantren Ora Aji ini.
Salah satu yang cukup mendapat sorotan adalah asal usul Gus Miftah. Dalam sebuah video, Gus Miftah pernah mengatakan bahwa dirinya adalah keturunan dari ulama besar asal Ponorogo, Hasan Besari.
Hasan Besari atau yang memiliki nama lengkap Kiai Muhammad Ageng Besari dikenal memiliki peran besar dalam perkembangan pesantren di daerah tersebut.
Dalam pernyataannya itu, Gus Miftah memiliki ayah bernama M. Murodhi yang merupakan adalah putra dari M. Boniran. Dan jika diurutkan, Miftah mengatakan masih ada keturunan dari Imam Besari hingga Brawijaya V.
Lantas, siapa Kiai Muhammad Ageng Besari yang diklaim sebagai leluhur Gus Miftah?
Kiai Muhammad Ageng Besari sendiri adalah seorang tokoh penting yang tidak hanya dikenal sebagai kiai, tetapi juga sebagai bangsawan dan pendiri salah satu pesantren tertua di Nusantara yang kini dikenal sebagai Pesantren Tegalsari.
Pesantren Tegalsari, yang juga dikenal dengan nama Pesantren Gebang Tinatar, menjadi salah satu lembaga pendidikan agama yang berpengaruh di wilayah tersebut.
KH Besari merupakan ulama besar asal Ponorogo. KH Hasan Besari lahir pada 1729. Ia merupakan putra kedua dari Kiai Muhammad Ilyas bin Kiai Ageng Muhammad Besari dari istri pertamanya.
Hasan Besari memiliki nama lengkap Kanjeng Kiai Bagus Hasan Besari. Ia adalah pendiri Pondok pesantren Gebang Tinatar yang terletak di Tegalsari, Jetis, Ponorogo.
Tegalsari adalah sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kiai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari.
Sebagai informasi, ulama bukanlah status yang bisa diremehkan. Dalam tradisi Jawa, Kiai dianggap sebagai sosok yang ditinggikan dan menempati strata sosial atas.
Bahkan pada sistem kolonial pun, Kiai akan menjadi penanggung jawab dalam urusan keagamaan karena sultan atau raja akan fokus ke urusan politik.
Tentang Pesantren Tegalsari
Dilansir dari laman resmi Gontor, pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya.
Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya.
Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok. Bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain.
Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini.
Alumni pondok pesantren Tegalsari dari Sunan hingga Ranggawarsita
Sebagai salah satu tempat menuntut ilmu yang ternama, Pesantren Tegalsari menjadi wadah bagi beberapa orang penting untuk menimba ilmu.
Di antara mereka ada yang menjadi kyai, ulama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, negarawan, pengusaha, dll.
Paku Buana II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura; Raden Ngabehi Ronggowarsito (wafat 1803), seorang Pujangga Jawa yang masyhur; dan tokoh Pergerakan Nasional H.O.S. Cokroaminoto (wafat 17 Desember 1934) merupakan beberapa alumni pesantren ini.
Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang Paku Buana II nyantri di Pondok Tegalsari.
Pada tanggal 30 Juni 1742, di Kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi Susuhuhan Kuning, seorang Sunan keturunan Tionghoa.
Serbuan yang dilakukan oleh para pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga Kartasura tidak siap menghadapinya.
Karena itu Paku Buana II bersama pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke timur Gunung Lawu.
Dalam pelariannya itu dia sampai di desa Tegalsari. Di tengah kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah kemudian Paku Buana II berserah diri kepada Kanjeng Kyai Hasan Besari.
Penguasa Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari Kyai wara. Dia ditempa dan dibimbing untuk selalu bertafakkur dan bermunajat kepada Allah, Penguasa dari segala penguasa di semesta alam.
Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah dan berdoa serta berkat keikhlasan bimbingan dan doa Kyai Besari, Allah SWT mengabulkan doa Paku Buana II.
Api pemberontakan akhirnya reda. Paku Buana II kembali menduduki tahtanya. Sebagai balas budi, Sunan Paku Buana II mengambil Kyai Hasan Besari menjadi menantunya.
Sejak itu nama Kyai yang alim ini dikenal dengan sebutan Yang Mulia Kanjeng Kyai Hasan Bashari (Besari).
Sejak itu pula desa Tegalsari menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan.
Setelah Kyai Ageng Hasan Besari wafat, beliau digantikan oleh putra ketujuh beliau yang bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya digantikan oleh Kyai Bagus Hasan Bashari II yang kemudian digantikan oleh Kyai Hasan Anom.