Soal Caleg Koruptor, KPU Tegaskan Hanya Laksanakan Putusan MK

Abadikini.com, JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) membantah tudingan menyelundupkan pasal dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD dan PKPU Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPD, demi meloloskan para mantan terpidana kasus korupsi menjadi bakal calon legislatif (bacaleg) dalam Pemilu 2024.

Ketua KPU Hasyim Asy’ari menegaskan, tudingan KPU menyelundupkan pasal dalam PKPU sama sekali keliru. Se­bab, pihaknya hanya berupaya taat pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“KPU tidak menyelundupkan pasal, tapi melaksanakan putusan MK,” tegas Hasyim dalam keterangan tertulis seperti dikutip, Senin (29/5/2023).

Hasyim menegaskan, dalam membuat aturan, KPU telah merujuk dan menjadikan pu­tusan MK 87/PUU/-XX/2022 sebagai sumber hukum. KPU, lanjut dia, juga telah menempuh prosedur uji publik, konsultasi kepada DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang dan pemerintah dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), dan proses har­monisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum­ham) sebelum dilakukan pengundangan.

“Putusan MK 87/PUU/-XX/2022 menyatakan uji materi Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekua­tan hukum mengikat,” kata dia.

Hasyim menekankan, karena sanksi pencabutan hak politik dicalonkan berdasar atas putusan pengadilan, maka oleh MK dianggap sudah adil sebagai jeda waktu, sehingga tidak perlu digenapi menjadi lima tahun.

“MK menghormati putusan pengadilan yang ada,” tandasnya.

Atas dasar putusan tersebut, Hasyim memberikan simulasi. Yaitu, mantan terpidana korupsi yang diputus pidana dengan ancaman lima tahun atau lebih, dan pidana tambahan pencabutan hak politik tiga tahun dan yang bersangkutan bebas murni (ber­status mantan terpidana) pada tanggal 1 Januari 2020.

“Jika mendasarkan pada amar putusan MK nomor 87/PUU-XX/2022, maka jeda waktu untuk dapat dipilih harus mele­wati lima tahun, sehingga jatuh pada tanggal 1 Januari 2025,” kata dia.

Namun oleh hakim pengadi­lan di lingkungan Mahkamah Agung, dengan putusan pidana tambahan pencabutan hak poli­tik selama tiga tahun, maka yang bersangkutan sejak bebas murni pada tanggal 1 Januari 2020 ten­tunya memiliki hak untuk dipilih pada tanggal 1 Januari 2023.

“Sehingga ketentuan jeda waktu sesuai amar putusan MK tidak berlaku pada situasi ini,” Kata dia.

Sementara, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kur­nia Ramadhana mengaku siap mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Agung (MA) atas Peraturan KPU Nomor 10 dan 11 Tahun 2023 terkait Pencalegan. Dia menilai, kedua beleid itu memuat pasal yang dianggap mempermudah eks terpidana korupsi maju sebagai caleg pada Pemilu 2024.

“Jika dalam waktu dekat KPU tidak mau merevisi ketentuan itu, maka ICW bersama dengan Perludem serta organisasi masyarakat sipil lainnya akan segera mengajukan uji materi PKPU Nomor 10 Tahun 2023 dan PKPU Nomor 11 Tahun 2023 ke Mahkamah Agung,” ujar Kurnia dalam keterangannya, kemarin.

Kurnia mengingatkan Hasyim dan para anggota KPU lain bah­wa amar putusan MK hanya me­nyebutkan masa jeda waktu lima tahun yang harus dijalani mantan terpidana sebelum maju sebagai bacaleg, tanpa ada pengecualian penghitungan pidana tambahan pencabutan hak politik.

Jika mengikuti logika KPU, Kurnia berpendapat ke depan­nya para terdakwa korupsi yang berasal dari lingkup politik akan berharap kepada majelis hakim untuk dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.

“Sebab, mereka tidak harus menunggu masa jeda lima tahun sebagaimana yang dimandatkan putusan MK,” kata dia.

Sedangkan, Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ali Fikri mendesak KPU menjadikan putusan MK sebagai syarat bagi bakal bacaleg untuk ikut berkon­testasi pada Pemilu 2024. Hal itu kata dia, menjadi bentuk pembe­rian efek jera bagi penyelenggara negara yang melakukan korupsi.

“Dalam penentuan syarat pencalonan anggota legislatif sudah seharusnya penyelenggara pemilu ikuti ketentuan norma sebagaimana putusan MK yang mensyaratkan, bakal calon telah melewati jangka waktu 5 tahun, setelah mantan narapidana selesai menjalani pidananya,” jelas Ali dalam keterangannya, kemarin.

Ali menilai, pencabutan hak politik untuk memberikan efek jera kepada pelakunya, sekaligus menunjukkan korupsi yang dilakukan telah memanfaatkan kepercayaan publik.Pencabutan hak politik juga, kata Ali, memperlihatkan bahwa dalam tindak pidana korupsi yang pelaku lakukan, telah menyalahgunakan kepercayaan publik.

“Sehingga perlu memitigasi risiko serupa dalam pengambi­lan keputusan politik di masa mendatang,” kata dia.

Ali menegaskan, KPK akan konsisten untuk menuntut pidana tambahan berupa pencabutan hak politik kepada korup­tor. Tapi, sejauh ini lanjut dia, majelis hakim menjatuhkan pu­tusan mencabut hak untuk tidak dipilih dalam jabatan publik bagi para koruptor rata-rata berkisar 3 tahunan setelah menjalani pidana pokok.

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker