Mengambil Makna Perhelatan Formula-E

Oleh : Farhat Abbas

Sangat disangka. Itulah perhelatan Formula-E di Sirkuit Ancol, Jakarta, 4 Juni lalu. Bagaimana tidak? Dalam masa sekitar tiga bulan, dapat diselesaikan pembangunan jalan sirkuit sepanjang 2,4 meter dengan lebar 16 m, panjang trek lurus 527 m dan 18 jalan tikungan, di samping pembangunan tribun. Kerja ekstra cepat dan hasilnya cukup memuaskan. Direktur ABB FIA World Championship dalam inspeksinya sekitar dua hari sebelum perhelatan Formula-E digelar pun terkaget kagum. Lebih dari itu, perhelatannya pun sukses besar, dipancarluaskan oleh 150 awak media luar negeri, di samping tiga televise dalam negeri.

Yang perlu kita catat lebih jauh, apa makna yang dapat kita petik dari perhelatan akbar Formula-E itu? Pertama dan utama, realisasi perhelatan itu secara langsung mengkonfirmasi bahwa. Jakarta sejajar, minimal dapat disejajarkan kemampuannya dengan para penyelenggara terdahulu (Beijing, Mexico City, Paris, Moskow dan London). Meski dalam sektor tertentu, tapi konfirmasi itu bermakna mayakinkan masyarakat pembalap Formula-E dan organisasinya menunjukkan bahwa, Jakarta atau negeri ini memang mampu menyelenggarakannya, bukan sekedar wacana atau teoritik dan sketsa di atas kertas semata.

Konfirmasi itu sebagai hal kedua, sekaligus juga untuk menjelaskan kepada dunia, Jakarta khususnya selaku pengemban amanah perhelatan Formula-E telah berhasil melewati masa-masa sulit akibat pandemi Covid-19, terkait dampak ekonomi dan sosialnya. Konfirmasi ini menjadi penting sebagai formula kebijakan turisme yang haruslah responsif dalam upaya menggali postensi wisatawan mancanegara (wisman) yang mengalami penurunan (decline) akibat pandemi covid-19.

Karena itu, melalui realisasi perhelatan fantastik Formula-E itu, negeri ini leluasa untuk meyakinkan masyarakat wisman: tak perlu ragu datang ke Indonesia. Setidaknya, kerumunan massa yang demikian padat di arana sirkuit dapat dijadikan referensi tentang situasi aman dari ancaman Covid-19 yang konon masih terus menghantui.

Dengan topografi kesehatan lingkungan yang relatif telah aman itu, hal itu bisa dijadikan pijakan kesadaran untuk tidak lagi meneruskan kebijakan yang terus mengeksploitasi rakyat atas nama pencegahan Covid-19. Rakyat yang kian minus pendapatan tidak selayaknya diperas terus atas nama PCR, antigen, karantina dan lain-lain. Sudah saatnya stop total aksi eksploitatif terhadap publik di tengah Indonesia ini bahkan dunia atas nama pencegahan Covid-19. Karenanya, tidaklah berlebihan jika terdapat opini bahwa realisasi perhalatan Formula-E sejatinya merupakan adegan aksi “pembebasan” anti Covid-19. Pertunjukan ini perlu dilihat dan disikapi secara positif-kontruktif, bukan sisi lain yang tendensius.

Sebab, pembebasan itu berkorelasi positif dan cukup atraktif terkait peluang besar kehadiran para wisman. Secara langsung, pertunjukkan pembebasan itu punya dimensi ekonomi yang sangat mendasar: menghidupkan kembali daerah-daerah wisata di berbagai sentra negeri ini yang sangat terpukul akibat Covid-19. Karenanya, tidaklah berlebihan jika muncul opini publik, perhelatan Formula-E sebagai kegiatan ataupun melalui tinjauan langsung para pembalap dan pengujung dari berbagai negara menjadi saksi mata sekaligus “duta klarifikator” tentang topografi kesehatan lingkungan yang aman, di samping demikian indahnya Ibukota Indonesia (Jakarta) saat ini, juga panorama menawannya daerah-daerah lainnya yang telah terkenal luas di berbagai belahan dunia.

Yang tak kalah menariknya, sebagai hal ketiga – perhelatan Formula-E juga sekaligus mengkonfirmasi komitmen Jakarta terhadap sikap dan kebijakan yang tegas pro lingkungan (healty climate). Misi mendasar dari Formula-E itu sendiri sudah jelas: pembudayaan mobil listrik sebagai upaya mendasar pengurangan bahan bakar fosil.

Dan Jakarta, bukan hanya supported terhadap misi itu, tapi langsung mengejawantahkannya melalui kebijakan pembangunan pro lingkungan yang menampak jelas pada program naturalisasi secara meluas. Karenanya, bermunculan taman-taman baru di tengah perkotaan, di samping area-area penghijauan yang demikian meluas dan bermanfaat bagi kepentingan ekonomi masyarakat pengelola. Pemandangan lingkungan yang asri itu tentu menjadi daya tarik terendiri. Bukan semata-mata keasriannya, tapi kualitas iklim sehat karena produksi oksigen yang milyaran kubik, di samping potensi besar penyerapan debit air manakala hujan turun.

Realitas program pembangunan pro-lingkungan tersebut jeleslah menjadi catatan plus di mata para perseta Formula-E dan rombongan, serta segenap penonton mancanegara. Pemandangan yang dipancarluaskan media internasional, hal ini membuka mata dunia, sebagai pejabat Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) atau para kepala negara dan rakyatnya tentang panorama Jakarta saat ini yang demikian asri dan “hijau”. Sebagai aktivis pro-lingkungan, tentu pemandangan lingkungan yang sehat itu sungguh mengagumkan.

Keempat, realitas penyelenggaraan Formula-E menggiring sebuah kebanggaan tersendiri bagi bangsa negeri ini. Yaitu, rasa bangga (pride), yang dalam konteks sosial cukup penting maknanya. Yaitu, bisa menumbukan rasa percayaan diri. Bangsa ini bukanlah Inlander, karenanya tak boleh minder saat berhadapan dengan komunitas internasional manapun dan dalam sektor apapun. Modalitas sosial ini penting dan bisa disett up secara konstruktif untuk kepentingan lain, katakanlah ekonomi (bisnis).

Dan memang, sebagai hal kelima, perhelatan itu memang dirancang untuk mendorong gerakan ekonomi mikro, untuk seluruh level: tidak hanya untuk pelaku ekonomi kelas “kakap”. Para pelaku ekonomi kelas “bawah” berhak juga menikmati kue ekonomi sebagai multiplier effect. Dan data bicara, seluruh lapisan pelaku ekonom dapat kebagian kuenya sesuai forsinya, mulai dari awal pembangunan sarana dan prasarananya yang bernilai sekitar Rp 344 miliar ini melibatkan banyak korporasi, sampai pada saat-saat penyelenggaraan.

Di luar aspek bisnis, serangkaian ikhtiar mewujudkan pagelaran yang super sophisticated itu menyerap sumberdaya manusia yang tidak sedikit, sesuai bidang dan keahliannya. Karenanya, tidaklah berlebihan bahwa perhelatan Formula-E sedari awal memang didesain untuk mendrive sektor ekonomi, berbasis pendapatan (income) karena terlibat dalam proses kerja untuk ketersediaan sarana dan prasarana. Juga, pendapatan berbasis partisipasi bisnis yang lahir dari celah itu, yang bersifat langsung. Sementara, hotel dan pusat-pusat kuliner juga akan kebanjiran permintaan.

Maka, tidaklah mengherankan ketika terjadi pandemi Covid-19 justru justru semakin terdorong bagaimana mencari solusi ekonomi konstruktif. Dan perhelatan Formula-E menjadi salah satu jawaban nyata. Itulah sebabnya, program atau agenda perhelatan Formula-E yang telah diputuskan bersama DPRD Provinsi DKI Jakarta jauh sebelum pandemi pantang disurutkan apalagi gagal.

Karenanya, mengundang banyak tanya ketika muncul gerakan sistimatis yang berusaha menggagalkan perhelatan Formula-E sampai ke titik akhir. Sampai-sampai seluruh BUMN pun menolak untuk mensponsori perhelatan akbar yang bergengsi itu. Bahkan, terdapat rumor, ada pihak tertentu sengaja membeli 200 tiket tapi dengan maksud buruk (tidak nonton agar terlihat kosong saat perhelatan). Tapi, niat buruk itu gagal total (gatot). Fakta bicara: penonton membludak.

Mencermati gerakan sistimatis untuk menggagalkan perhelatan Formula-E, mencul renungan, apakah mereka tak memahami makna implikatif-konstruktif dari penyelenggaraan Formula-E, padahal menurut prediksi Bank Indonesia berpotensi membukukan profit antara Rp 400-500 miliar? Itu baru catatan material (keuangan). Bagaimana dengan nilai-nilai non-keuangan seperti tumbuhnya rasa percaya diri sebuah anak bangsa yang bisa disett up sebagai modalitas? Atau, apakah memang tidak mampu mengkalkulasi korelasi positif secara ekonomi, sosial dan lain-lain dari perhelatan itu?

Memang, akan bermunculan rasa kagum dan apresiasi dari masyarakat domestik dan internasional terhadap sang tokoh penyelenggara Formua-E itu. Tapi, realisasi agenda itu merupakan kinerja kolaboratif. Tak ada cerita klaim monopoli. Karenanya, sungguh lucu dan menggelikan katika muncul gerakan akrobatik yang terus berusaha menggagallan perhelatan Formula-E di Jakarta hanya karena pikiran picik: dikaitkan nuansa politik kontestatif (kepresidenan). Cemburu buta.

Gubernur DKI Jakarta tegaskan dalam sambutannya jelang perhelatan Formula-E, “Perhelatan ini bukanlah kongres partai politik. Ini adalah pertandingan olah raga. Menjadi tanggung jawabnya selaku Kepala Daerah DKI Jakarta sesuai janji yang telah diprogramkan. Ditonton dunia. Dan karenanya menjadi martabat negara”. Sebuah pernyataan yang sejatinya terlepas dari muatan politik praktis. Tapi, itulah sikap kalangan kontrarian yang cenderung menterjemahkan secara a priori dengan kaca mata politik. Penerjemahan politik yang out of line and disconnected. Masyarakat internasional pun geli dan mentertawakan bacaan terjemahan itu.

Akhir kata, Partai Negeri Daulat Indonesia menilai perhelatan Formula-E, sedari awal memang sudah muncul resistensi, tapi dari kalangan tertentu yang memang sempit jangkauan pemikirannya dan jauh dari karakter kenegarawanan. Kalangan kontrarian terus melancarkan maneuver dan agitasinya untuk menggagalkan perhelatan akbar yang bergengsi, berkelas dunia, sarat dimensi kemanusiaan, pro lingkungan dan kepentingan nasional. Ironis memang upaya destruktif itu.

Maka, dengan kehendak Allah, kita saksikan bersama paronama perhelatan Formula-E di International E-Prix Sircuit Ancol (Jakarta). Namun, itulah indahnya perjuangan. Sungguh beda dibanding adegan balap motor di Mandhalika beberapa waktu lalu yang full support dari negara, dalam kaitan anggaran ataupun dukungan berbagai kementerian.

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker