Trending Topik

Lima Pakar Hukum Tata Negara Ini Paparkan Argumentasi Menolak Penundaan Pemilu 2024

Abadikini.com, JAKARTA – Sejumlah pakar hukum tata negara menolak usulan sejumlah pimpinan partai politik yang menyuarakan penundaan Pemilu 2024. Mereka menganggap usulan itu bentuk pelanggaran konstitusi.

Usulan Pemilu 2024 diundur ini disuarakan ketua umum partai politik pendukung pemerintah. Mulanya, usulan ini disuarakan secara terbuka oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar.

Selanjutnya, ucapan Muhaimin itu disambut oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dan Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) Airlangga Hartarto. Mereka menganggap rakyat masih ingin dipimpin Jokowi dan ekonomi belum stabil.

1. Yusril Ihza Mahendra

Guru Besar Hukum Tata Negara yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra mengatakan usulan penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan para pejabat negara ini dilontarkan tanpa dasar konstitusional. Penundaan Pemilu akan menimbulkan krisis legitimasi.

“Kalau asal tunda pemilu dan asal perpanjang masa jabatan para pejabat negara tersebut, tanpa dasar konstitusional dan pijakan hukum yang kuat, maka ada kemungkinan timbulnya krisis legitimasi dan krisis kepercayaan. Keadaan seperti ini harus dicermati betul, karena ini potensial menimbulkan konflik politik yang bisa meluas kemana-mana,” ujar dia.

2. Denny Indrayana

Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana menilai, usulan penundaan Pemilu 2024, yang berarti memperpanjang masa jabatan presiden, anggota parlemen, dan kepala daerah bentuk pelecehan konstitusi.

Dalam teori ketatanegaraan, ujar Denny, pengecualian tidak mengikuti aturan konstitusi itu hanya dimungkinkan dalam situasi sangat darurat, dan hanya demi menyelamatkan negara dari ancaman serius yang berpotensi menghilangkan negara.

“Ini nyata-nyata adalah potret pelanggaran konstitusi berjamaah yang didasari pada dahaga atas kekuasaan semata,” ujar Denny Indrayana lewat keterangan tertulis, Jumat, 25 Februari 2022.

3. Jimly Asshiddiqie

Guru Besar Hukum Tata Negar Jimly Asshiddiqie menilai, usulan penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024 oleh para ketua umum partai itu sebatas asal bunyi belaka. Dia pun mengaku belum pernah mendengar ada kajian internal partai terhadap usulan tersebut.

“Maka kalau tidak terlalu penting lebih baik tidak usah direspons agar para ketum tersebut tetap tidak percaya pada omongannya sendiri,” kata Anggota DPD dari DKI Jakarta ini saat dihubungi Tempo, Sabtu, 26 Februari 2022.

4. Margarito Kamis

Pakar hukum tata negara, Margarito Kamis mengungkapkan perpanjangan masa jabatan presiden atau menunda pemilu 2024 bisa teralisasi bila Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen kembali. Selain itu, juga bisa dilakukan dengan diterbitkannya dekrit presiden.

“Silakan saja ubah UUD 1945 atau Presiden Jokowi mengeluarkan dekrit untuk perpanjangan dirinya sebagai Presiden RI. Itu silakan saja. Biar rakyat menilai,” kata Margarito, Jumat, 25 Februari 2022.

5. Fahri Bachmid

Pakar Hukum Tata Negara, Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid menegaskan penundaan Pemilu, yang berdampak pada perpanjangan masa jabatan jabatan publik tidak sejalan dengan spirit konstitusi.

Etisnya, diskursus imajiner mengenai menunda Pemilu yang tentunya berimplikasi pada tatanan perpanjangan masa jabatan Presiden/Wakil Presiden, Menteri, DPR, DPD dan DPRD serta jabatan-jabatan Publik lainya diahiri, sebab wacana itu adalah sangat tidak bermuatan maslahat, malahan sangat banyak mudaratnya bagi bangsa dan negara

“Usulanpenundaan Pemilu merupakan Constitution Disobedience atau pembangkangan terhadap Konstitusi,” ujar Fahri Bachmid, dalam keterangan tertulisnya, Senin (28/2/2022) malam.

Menurut Fahri, jika dilihat dari berbagai alasan serta justifikasi yang coba dikemukakan pengusul penudaan Pemilu, secara teoritik maupun konstitusional tidak ada jalan yang disediakan oleh UUD 1945 dan tidak berangkat dari “reasoning” yang memadai. Sebab hal itu bukanlah tindakan yang didasarkan kepada dalil yang secara konstitusional dapat diterima.

“Misalnya secara objektif negara dalam keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan- kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa; atau timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga; atau gangguan keamanan yang berdampak holistik,berdasarkan Perpu No. 23/1959 Tentang Keadaan Bahaya atau berdasarkan prinsip hukum tata negara darurat dikenal dengan “staatsnoodrechts” (keadaan darurat negara) atau “noodstaatsrechts” (hukum tata negara dalam keadaan darurat), sehingga presiden sebagai kepala negara dapat menetapkan sebuah kebijakan dan kebutuhan hukum sesuai prinsip hukum yang berlaku, berdasarkan ajaran hukum suatu keadaan darurat negara (state of emergency),” paparnya.

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker