Trending Topik

Jika Dilakukan, Rencana Amendemen UUD 1945 oleh MPR Cacat Konsep dan Paradigma

Sejak hapuskannya GBHN/PPHN dari konstitusi, maka konsep yang serupa yang mempunyai fungsi semacam GBHN telah digantikan dengan dua produk hukum. Pertama, UU RI No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; dan : Kedua, UU RI No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Sementara penyusunan RPJMN berlandaskan visi dan misi calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

Secara teknis jika PPHN merupakan dokumen hukum bagi penyelenggara pembangunan nasional yang berbasis pada kedaulatan rakyat, menurut dia, maka secara ideal hal tersebut cukup diakomodir dalam payung hukum yang derajatnya di bawah konstitusi, yaitu UU agar lebih visible dan fleksibel dalam menampung kebutuhan zaman kontemporer, dan tidak ada urgensinya jika basis pengaturan membutuhkan derajat konstitusi. Di sisi yang lain oleh karena konsep GBHN tidak relevan lagi dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku saat ini.

“Gagasan GBHN/PPHN adalah sangat tidak “futuristik” dengan konsep negara demokrasi konstitusional serta negara modern, yang mana setiap “proyeksi” perencanaan pembangunan nasional yang komprehensif, terpadu, dan terintegrasi idealnya mengacu dan berbasis pada kondisi faktual, serta melalui instrumen riset yang mendalam dan detail, dan tidak hanya sekedar ideologi yang sangat abstrak karena berupa konsep-konsep ideal,” ujar Fahri Bachmid.

Ia menegaskan, demokrasi dan konstitusi telah mengatur dan menjamin sedemikian rupa mekanisme serta dinamika politik dan sistem ketatanegaraan saat ini berkembang sesuai arah, kehendak dan kebutuhan politik kebangsaan kita saat ini. Dengan demikian, menurut Fahri, wacana amendemen yang disampaikan oleh MPR tentang adanya penambahan ketentuan ayat pada Pasal 3 dan ketentuan Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945, adanya penambahan ayat dalam pasal 3, hal itu artinya MPR ingin diberi kewenangan untuk mengubah dan menetapkan PPHN. Padahal, dokumen hukum PPHN itu diatur dalam UUD 1945.

“PPHN yang demikian ini tentunya serupa dengan GBHN pada UUD 1945 sebelum amendemen, kemudian penambahan satu ayat pada ketentuan Pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN,” katanya.

Jika nantinya amendemen Pasal 3 disetujui dan menjadi materi muatan konstitusi, menurut Fahri Bachmid, maka secara hipotesis dapat ditanyakan kepada siapa nantinya presiden akan bertanggung jawab atas pelaksanaan PPHN itu? dan apa konsekwensi konstitusional jika lembaga negara yang tidak dapat merealisir dokumen PPHN? dapatkan lembaga lembaga negara itu dikatakan melakukan pelanggaran konstitusi, dan olehnya itu dapat diajukan impeachment kepada Mahkamah Konstitusi? atau bagaimana mekanisme ketatanegaraan serta lembaga yang secara konstitusional diberikan atribusi kewenangan untuk mengevaluasi pelaksanaan PPHN itu, apakah secara politik atau hukum?

“Kalau secara politik berarti MPR sebagai lembaga yang mengeluarkan produk PPHN itu, dan jika demikian berarti menjadi anomali kerana kita telah kembali lagi mengadopsi sistem dengan prinsip supremasi MPR. Ini yang mestinya tidak terjadi,” kata Fahri Bachmid.

Ditambahkan Fahri, jika mekanisme pengawasan dan evaluasi harus diletakan secara hukum dengan melibatkan kekuasaan yudisial, maka Mahkamah Konstitusi yang paling dekat dengan pranata ini, sehingga implikasinya adalah amendemen tentunya tidak terelakan untuk menyasar pada bagian ini.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5Laman berikutnya

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker