Trending Topik

Kebijakan Orde Baru, Masyumi dan Islam

TIDAKLAH mudah bagi saya untuk sepenuhnya bersikap netral dan obyektif membahas kebijakan Orde Baru terhadap Masyumi dan Islam, sebagaimana yang diminta oleh Republika, apalagi waktu yang diberikan untuk menulisnya sangatlah terbatas, kurang dari sehari.

Karena itu, saya menuliskan artikel ini hanya berdasarkan ingatan saya belaka.Saya katakan sukar untuk bersikap netral dan obyektif karena sedikit-banyaknya saya terlibat dalam episode sejarah itu, baik langsung maupun tidak langsung.

Ketika saya berumur hampir lima tahun, saya menyaksikan ayah saya dan sejumlah tokoh Masyumi lokal, menurunkan papan nama partai itu, karena mereka dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Soekarno, pada akhir tahun 1960. Soekarno menerbitkan Keppres Nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960, yang isinya membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Namun pelaksanaan pembubaran itu harus dilakukan sendiri oleh Masyumi dan PSI. Jika dalam tempoh seratus hari kedua partai itu tidak membubarkan diri, maka partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang.

Sebab itulah Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito dan Sekjennya Muhammad Yunan Nasution, mengeluarkan pernyataan politik membubarkan Masyumi, mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah.

Apa yang ada di kepala orang Masyumi waktu itu ialah Soekarno mulai menjadi diktator dan negara makin bergerak ke arah kiri. Dalam perhitungan mereka, tanpa Masyumi, maka kekuatan PKI akan semakin besar dan sukar dibendung. PNI sebagai representasi kelompok nasionalis, telah diintrik dan diintervensi oleh kekuatan kiri melalui kelompok Ali Sastroamidjojo dan Surachman. Kendatipun memiliki basis massa yang besar, elit politisi NU dibawah pimpinan Idham Chalid dan Saifuddin Zuhri, takkan kuat menghadapi Soekarno dan PKI sendirian.

Apalagi, makin nampak kecenderungan akomodatif NU untuk menerima posisi representasi kelompok agama dalam poros Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis), suatu hal yang ditentang keras oleh Masyumi.

Tokoh-tokoh Masyumi memang dihadapkan pada dilema dengan Keppres 200/1960 itu. Menolak melaksanakan pembubaran diri, berarti secara hukum, partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang.

Karena itu, mereka memilih alternatif yang juga tidak menyenangkan yakni membubarkan diri, dengan harapan suatu ketika partai itu akan hidup kembali, jika situasi politik telah berubah.

Prawoto sendiri mengatakan, Keppres 200/1960 itu ibarat vonis mati dengan hukuman gantung, sementara eksekusinya dilakukan oleh si terhukum itu sendiri. Memang terasa menyakitkan.

Meskipun Masyumi telah membubarkan diri, dan tokoh-tokohnya yang terlibat dalam PRRI telah memenuhi panggilan amnesti umum dan mereka menyerah, namun perlakuan terhadap mereka tetap saja jauh dari hukum dan keadilan.

Tokoh-tokoh Masyumi yang menyerah itu, Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Boerhanoeddin Harahap ditangkapi. Bahkan mereka yang tidak terlibat PRRI seperti Prawoto, Mohamad Roem, Yunan Nasution, Isa Anshary, Kasman Singodimedjo, Buya Hamka dan yang lain, juga ditangkapi tanpa alasan yang jelas.

Bertahun-tahun mereka mendekam dalam tahanan di Jalan Keagungan, Jakarta, tanpa proses hukum. Ini terang suatu bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan Sukarno. Tokoh utama PSI, Sutan Sjahrir bahkan mendekam dalam penjara di sebuah pulau di lautan Hindia, di sebelah selatan daerah Banten. Dalam kondisi tahanan yang buruk, Sjahrir sakit, sampai akhirnya wafat walau mendapat perawatan di Swiss. Tokoh PSI yang lain, Soebadio Sastrosatomo dan Hamid Algadri juga ditahan. Perlakuan terhadap anak-anak dan keluarga orang Masyumi di masa itu hampir sama saja dengan perlakuan keluarga PKI di masa Orde Baru.

Ketika itu PKI sedang jaya. Ketika mereka sedang jaya, mereka juga membantai orang-orang Masyumi di Madiun tahun 1948, dan menculik dan menghilangkan paksa orang-orang Masyumi di Jawa Barat dan tempat-tempat lain. Hendaknya sejarah jangan melupakan semua peristiwa ini.

Ketum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra dan Sekjen Afriansyah Noor. Foto: Istimewa

Di era Reformasi sekarang, banyak aktivis HAM hanya berbicara tentang orang-orang PKI pasca G 30 S yang menjadi korban pembantaian Orde Baru, tetapi mereka melupakan orang-orang Masyumi yang menjadi korban pembantaian dan penghilangan paksa PKI, ketika mereka masih jaya-jayanya.

Sebab itulah, ketika Orde Lama runtuh pasca Gerakan 30 September 1965, ada secercah harapan di kalangan keluarga besar Masyumi agar mereka hidup dan berkiprah kembali. Presiden Soekarno yang dianggap berbuat sewenang-wenang kepada Masyumi dengan dukungan PKI, dicabut kekuasaannya oleh MPRS pada tahun 1967.

Sama seperti Soekarno yang membubarkan Masyumi, Soeharto juga membubarkan PKI yang kemudian dikuatkan dengan Ketetapan MPRS. MPRS bahkan mengamanatkan kepada Pejabat Presiden Soeharto untuk mengambil langkah hukum yang tegas kepada mantan Presiden Soekarno. Namun amanat MPRS itu tak pernah dilaksanakan Soeharto sampai akhir hayat Bung Karno dengan alasan “mikul dhuwur mendem jero”.

Orde Baru di bawah kepemimpinan Jendral Soeharto mendapat dukungan luas dari umat Islam, dan kedua sayap politik Islam, baik kubu eks Masyumi maupun kubu NU. Dukungan mereka berikan karena sikap tegas Soeharto kepada Komunisme dan langkah-langkah nyatanya untuk memperbaiki ekonomi yang ketika itu sangat morat-marit. Di akhir kekuasaan Soekarno, rakyat hidup mulai kelaparan dan compang-camping akibat inflasi yang tak terkendali.

Tiap hari rakyat hanya disuguhi pidato-pidato dan slogan-slogan berapi-api untuk mengobarkan semangat “Revolusi yang belum selesai” dan kegiatan menentang Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme), tanpa upaya sungguh-sungguh untuk memperbaiki nasib rakyat yang sudah lama menderita.

Oleh: Yusril Ihza Mahendra
Ketua Umum Partai Bulan Bintang

Sumber: Blog Yusri Ihza Mahendra terbit 31 Januari 2008

 

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker