Jelang Pemilu, Muslim Myanmar Siap Perjuangkan Hak Pilih Mereka

Abadikini.com, YANGON –  Jelang Pemilu Myanmar pada 8 November 2020 partai-partai politik di Myanmar bersiap mengikuti pemilihan pertama di bawah pemerintahan sipil selama lebih dari enam dekade belakangan ini.

Komisi Pemilihan Umum Myanmar telah mengumumkan tanggal pemilihan pada 1 Juli, mengundang pendaftaran kandidat dari 96 partai politik yang terdaftar dari 20 Juli hingga 7 Agustus.

Beberapa hari setelah pengumuman komisi itu, sebuah tim beranggotakan 16 orang dibentuk untuk membantu para kandidat Muslim berkampanye di daerah pemilihan mereka di seluruh pelosok negeri Myanmar. Tim ini terdiri dari para ahli hukum Muslim.

Juru bicara tim Maung Muang Myint mengatakan bahwa kelompok tersebut akan membantu kandidat Muslim secara finansial, legal dan teknis.

“Sangat disayangkan bahwa parlemen kami tidak memiliki anggota parlemen Muslim padahal 5 persen populasi negara itu adalah muslim,” kata Myint via telepon, seperti dilansir Anadolu Agency, Rabu (22/7/2020).

“Dari lebih dari 6.000 kandidat dalam pemilu 2015, hanya 28 yang beragama Islam. Mereka tidak meraih kursi,” sambungnya.

Dia menambahkan bahwa komisi pemilu telah menolak lebih dari seratus calon, kebanyakan Muslim, dengan alasan kewarganegaraan.

Undang-undang pemilihan menyatakan bahwa orang tua calon harus sudah diakui sebagai warga negara saat lahir.

“Jadi tahun ini, kami bekerja sama membantu mereka dalam seluruh proses mulai dari pendaftaran calon,” kata Myint.

Dua partai politik terbesar di negara itu, partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi dan Partai Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang didukung militer, tidak mengajukan calon Muslim untuk pemilihan umum terakhir.

Partai-partai belum menyerahkan daftar kandidat ke komisi pemilihan untuk pendaftaran.

Myint mengatakan umat Islam hanya memiliki sedikit peluang untuk terpilih sebagai kandidat partai politik di negara mayoritas Buddha itu.

“Kami tidak mendengar partai memilih Muslim sebagai kandidat mereka,” kata dia.

“Sejauh ini, kami hanya dihubungi oleh sekitar 20 kandidat Muslim independen dari Yangon, Mandalay dan Rakhine.”

Aung Shin, juru bicara partai NLD, mengakui partai itu mengecualikan Muslim sebagai kandidat untuk menghindari kritik dari kelompok-kelompok nasionalis Budha setelah ketegangan agama memuncak menjelang Pemilu 2015.

“Itu terjadi [pada 2015], tetapi itu tidak akan terjadi saat ini,” kata dia kepada Anadolu Agency via sambungan telepon pekan lalu, dia menegaskan bahwa partai itu akan memilih kandidat tanpa memandang ras dan agama.

“Kami tidak memiliki kebijakan untuk tidak memilih kandidat Muslim, tetapi itu tergantung pada keinginan masing-masing komunitas lokal,” kata Shin.

Dia mengatakan masing-masing komunitas lokal telah membuat daftar kandidat, dan Ketua Komite Eksekutif partai kemudian memilih orang yang cocok dari daftar mereka.

“Dengan cara ini, pemilihan kandidat akan mencerminkan keinginan komunitas tuan rumah,” kata Shin.

Min Htwe, seperti banyak Muslim lainnya di kota Mingalar Taungnyunt di Yangon, tidak percaya partai politik yang kuat akan memasukkan jumlah kandidat Muslim yang tepat dalam pemilihan mendatang.

“Saya tidak berpikir NLD dan partai-partai lain akan mengambil risiko kehilangan suara dengan memilih banyak kandidat Muslim karena mayoritas penduduknya beragama Buddha,” kata Htwe.

“Tetapi partai-partai akan menyertakan beberapa kandidat Muslim untuk mengklaim bahwa mereka tidak memiliki kebijakan diskriminatif,” ungkap dia.

Komunitas Muslim prihatin bahwa tak hanya sangat sedikit kandidat Muslim yang mencalonkan diri dalam pemilihan mendatang, tetapi juga sebagian besar akan mewakili partai-partai yang kurang dikenal, akan dibiarkan dengan peluang tipis untuk memenangkan kursi.

“Kebanyakan orang hanya akan memilih partai besar, NLD atau USDP. Jadi akan ada kemungkinan parlemen bebas-Muslim, kecuali partai-partai ini memiliki kandidat Muslim,” tutur dia.

Menurut sensus 2014, populasi Muslim secara resmi membentuk 4 persen dari 51 juta orang di negara itu.

Para Muslim memandang diri mereka sendiri sebagai target kebencian karena sentimen anti-Muslim telah meningkat di Myanmar dengan munculnya gelombang nasionalisme di antara mayoritas umat Buddha.

Penganiayaan terhadap Muslim adalah yang paling umum di negara bagian Rakhine barat, di mana Badan Pengungsi PBB mengatakan lebih dari 723.000 Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari kekerasan yang brutal oleh militer sejak 2017.

Myanmar menyebut Rohingya sebagai Bengali, sebuah istilah yang menunjukkan bahwa mereka adalah imigran ilegal dari Bangladesh, yang tinggal di Rakhine selama beberapa dekade.

Namun, Rohingya menolak klaim itu, mereka menekankan telah tinggal di wilayah itu selama berabad-abad.

Rakhine menampung lebih dari satu juta etnis Rohingya, yang merupakan pemegang kartu identitas sementara (kartu putih) dan memiliki hak untuk memilih pada 2010, pemilihan penting dalam mengubah negara dari kediktatoran militer menjadi demokrasi.

Pemerintah sebelumnya, dipimpin oleh Presiden Thein Sein, pemimpin senior junta militer yang berkuasa di negara itu selama hampir enam dekade hingga 2010, mencabut kartu putih menjelang pemilu 2015, membuat mereka tidak memenuhi syarat untuk memilih.

Politisi Rohingya Kyaw Min, ketua Partai Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, termasuk di antara kandidat Muslim yang dilarang oleh komisi pemilihan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan 2015.

“Saya memenangkan kursi pada 1990,” ungkap Min kepada Anadolu Agency sembari menyoroti pemilu di saat NLD meraih kemenangan besar, tetapi hasilnya diabaikan oleh junta militer.

Min mengatakan umat Islam memiliki hak suara dalam pemilu sejak kemerdekaan dan melalui pemilihan umum 2010 di negara itu.

“Setidaknya ada anggota parlemen Muslim di setiap parlemen sepanjang sejarah Myanmar. Kami, Muslim kehilangan hak kami untuk mewakili komunitas kami sejak pemilihan 2015,” tutur dia.

Partainya baru-baru ini mengirim surat ke komisi pemilihan untuk menuntut pengembalian hak untuk memilih bagi penduduk Rohingya di Rakhine.

“Bagaimana pemilihan bisa benar-benar bebas dan adil di saat kelompok minoritas kehilangan haknya?” tanya dia.

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker