Presiden Jokowi “Melawan”

TAK ada negara manapun di dunia ini yang kebal akan perubahan. Termasuk di bidang sosial, bila ada perubahan ideologi, kondisi geografis, kebudayaan, komposisi penduduk, atau temuan baru. Seperti kini, hampir seluruh negara didera perubahan sosial akibat pandemi virus corona (Covid-19), seperti halnya Indonesia.

Semenjak virus corona melanda negeri ini pada awal Maret 2020, kepanikan dan ketakutan muncul di tengah masyarakat lantaran Covid-19 bisa mematikan manusia seketika.

Sejak itu sesungguhnya manusia Indonesia mengalami perubahan dalam dimensi kehidupan sosial, mulai dari penampakan pada bagian wajah, pola komunikasi, pola kekerabatan, pola ritual keagamaan.

Termasuk pola hubungan antar kementerian lembaga di pemerintahan serta pola hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Yang seketika mengalami pergeseran perilaku yang berbeda seperti biasanya. Semua itu terjadi sebagai antisipasi membendung merebaknya Covid-19.

Lepas dari perbincangan mengenai perubahan sosial di hampir seluruh negara sebagai akibat pandemi covid-19, Presiden Jokowi selalu menjadi sorotan dalam kepemimpinannya. Hal itu terlihat ketika memimpin kota Solo, DKI Jakarta dan kini Indonesia. Dalam hal ini Presiden Jokowi melawan demi kepentingan rakyat.

Pada periode kedua ini (2019-2024) Presiden Jokowi ingin mempercepat dan melanjutkan pembangunan infrastruktur, memperkuat pembangunan sumber daya manusia, mengundang investasi seluas-luasnya, melanjutkan reformasi birokrasi, serta penggunaan APBN yang fokus dan tepat sasaran.

Namun porsi energi dan anggaran kelima agenda kerja tersebut tampaknya untuk sementara harus dibagi, bahkan diakumulasikan untuk melawan wabah Corona.

Pada titik ini Jokowi tak sedikitpun kendor memimpin persiapan perlawanan secara massal atas Covid-19 melalui tatanan situasi yang disebut New Normal.

Mulai dari rukun tetangga, rukun warga, pos ronda, perkantoran, sekolahan, rumah ibadah, fasilitas umum, dan lain sebagainya berbenah menyongsong tatanan hidup baru itu.

Semangat Presiden Jokowi melawan Covid-19 bermodel New Normal ini, mungkin kadang berhadapan, bahkan berbenturan dengan watak, kepribadian, sifat manusia, kultur, dan lingkungan. Namun ini adalah pilihan yang mesti dijalani masyarakat Indonesia bila ingin mengenyahkan virus renik ini.

Seperti yang pernah dikatakan Prof. Maswadi Rauf (2004) “bukan manusia yang merubah lingkungan, tetapi lingkungan yang merubah manusia”.

Memasuki era New Normal, pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp. 677, 2 triliun untuk penanggulangan wabah corona. Masker, hand sanitizer, rajin cuci tangan, dan physical distancing menjadi inti dari tatanan hidup baru untuk bisa menghentikan sebaran Covid-19 antar manusia.

Dan selama vaksin Covid-19 belum ada, tatanan hidup baru akan efektif bila disertai dengan jaminan kesehatan serta kesadaran manusia.

Karena itu protokol kesehatab harus bisa menjadi tongkat komando yang tidak hanya berfungsi mengatur, mengarahkan, membolehkan atau melarang, tetapi juga ia harus bisa menghukum manusia yang melanggar atau tak mengindahkannya selama kurung waktu masa pandemi.

Untuk itu, kesiapan instrumen penertiban manusia dalam era New Normal diberbagai dimensi kehidupan haruslah seimbang dengan anggaran yang dikeluarkan sebesar Rp. 677, 2 triliun itu. Dengan kata lain anggaran sebesar itu harus bisa melenyapkan virus maha kecil ini. Jika tidak, tatanan hidup baru akan dianggap gagal.

Selain merepotkan manusia serta memaksa manusia untuk menemukan model hidup baru, di siai lain, Covid-19 membawa dampak yang luar biasa, yaitu kematian kapitalisme.

Kondisi tersebut sebetulnya bisa jadi momentum untuk melihat kembali sistem ekonomi Indonesia, dimana sistem kapitalis ternyata tak kuat menghadapi wabah penyakit.

Usai masa pandemi Covid-19 ini, banyak kalangan berharap agar Presiden Jokowi melawan ekonomi kapitalis untuk kemudian menggantikannya dengan ekonomi gotong-royong. Ekonomi koperatif yang dalam penjelmaanya mewujud kedalam ekonomi rakyat. Mengapa?

Agar dalam keadaaan dan situasi apapun yang dialami negeri ini, rakyat tak akan terperosok kedalam jurang kehancuran atau kedalam kubangan kemelaratan. Karena Indonesia memiliki pertahanan ekonomi mandiri yaitu ekonomi kerakyatan bukan ekonomi kapitalis.

Oleh : Burhanuddin Saputu
Penulis adalah Alumnus Pascasarjana FISIP Universitas Indonesia.

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker