THR Buruh di Tengah Corona

WABAH corona atau Covid-19 yang memporak-porandakan perekonomian dunia internasional, juga berpengaruh dengan dunia usaha di Indonesia dan perekonomian rakyat yang sangat terpukul.

Ada wacana untuk mengurangi jumlah ataupun menunda THR untuk para buruh. Di satu sisi, hal ini dapat dipahami, mengingat dunia usaha sangat terdampak akibat efek domino wabah corona, namun dari pandangan buruh, hal ini tidak bisa diterima.

Alasan utama penolakan adalah, buruh juga harus survive melalui bencana ini, jika THR dikurangi ataupun ditunda, maka akan semakin memberatkan para buruh.

Tunjangan Hari Raya Keagamaan (THR) disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP/78/2015) dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 (Permenaker/6/2016).

THR adalah pendapatan non-upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada buruh atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan.

Perlu diketahui juga bahwa dua regulasi tersebut khusus mengatur THR buruh yang tunduk pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bukan untuk Aparatur Sipil Negara (ASN).

Di dalam Permenaker/6/2016 disebutkan bahwa pengusaha wajib memberikan THR kepada buruh yang telah mempunya masa kerja satu bulan secara terus menerus atau lebih.

Baik yang hubungan kerjanya merupakan PKWTT (Pekerja tetap) ataupun PKWT (Pekerja Kontrak). Lebih lanjut disebutkan bahwa THR wajib dibayarkan oleh pengusaha paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari raya keagamaan.

Pembayaran THR, pada dasarnya, diberikan satu kali sesuai dengan hari raya keagamaan masing-masing buruh. Hari raya itu pun ditentukan secara limitatif, Idul Fitri untuk Buruh yang beragama islam, Natal bagi yang beragama Kristen/Katolik, Nyepi bagi yang beragama hindu, Waisak bagi yang beragama Budha, serta Imlek bagi yang beragam Kong Hu Cu.

Namun Permennaker /6/2016 memberikan kebebasan bagi pengusaha dan buruh untuk menyepakati sendiri kapan THR akan diberikan. Dalam artian, pada hari raya apa THR akan diberikan.

Di tengah wabah corona yang mendunia dan berdampak pada merosotnya omzet usaha, wajar apabila para  pengusaha merasa was-was mengingat bulan Ramadhan.

Kemungkinan besar jatuh pada tanggal 23 april dan dilanjutkan dengan hari raya idul fitri, Artinya kewajiban untuk membayar THR tidak lama lagi harus direalisasikan.

Muncul wacana untuk penundaan ataupun pengurangan jumlah THR. Apakah THR bisa ditangguhkan? Sayangnya baik peraturan menteri maupun PP/78/2015 tidak mengatur mengenai pengurangan atau penundaan pembayaran THR.

Justru Peraturan Menteri ini hanya mengatur larangan dan sanksi untuk pengusaha apabila terlambat atau tidak membayar. Pengenaan denda mengancam pengusaha yang terlambat membayar dan ancaman sanksi administratitf bagi pengusaha yang tidak membayar.

Apakah pengurangan THR dapat disimpangi dengan kesepakatan antara buruh dan pengusaha? Berdasarkan kedua regulasi tersebut, hal yang bisa disepakati bersama melalui perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan/atau perjanjian kerja bersama hanyalah kapan jadwal pembayaran THR, bukan pengurangan.

Sehingga menurut penulis demi menjaga kelangsungan usaha dan kelangsungan hidup para buruh di masa sulit ini, ada beberapa langkah yang harus ditempuh.

Pertama, para pengusaha mengadakan perundingan dengan perwakilan buruh di perusahaan masing-masing mengenai kondisi keuangan dan keadaan perusahaan untuk membangun trust dan keterbukaan. Jika memungkinkan, pembayaran THR disepakati ulang untuk dibayarkan pada hari raya paling akhir di tahun ini.

Kedua, Pengusaha “berkorban” untuk mengajukan kredit kepada perbankan untuk memenuhi kewajiban pembayaran THR. Pemerintah, dalam hal ini, mengeluarkan kebijakan agar pihak perbankan memberikan berbagai keringanan dalam pengajuan dan pembayaran kredit ini,  misalnya bunga yang rendah dan jangka waktu pembayaran yang rasional.

Jika kedua hal itu tidak dimungkinkan, Pemerintah dalam hal ini, Kementerian Ketenagakerjaan harus mengeluarkan Peraturan Menteri yang mengubah skema pembayaran THR, terutama mengenai besarnya THR yang harus dibayarkan oleh pengusaha.

Pemerintah “hanya” perlu mengubah besaran THR yang diatur dalam Permenaker/6/2016 saja. Pengambilan keputusan ini tentunya dengan mendengar pertimbangan dari pihak pengusaha maupun buruh.

Jika tidak terjadi kesepakatan, pemerintah dalam mengambil langkah, harus memutus dengan asas kemanfaatan. Di antara opsi yang ada, ambil atau rumuskanlah kebijakan yang memiliki manfaat lebih banyak dan mudarat yang lebih sedikit. Semoga Tuhan YME selalu melindungi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Oleh : Sultan Fauzan Hanif
Penulis adalah Mahasiswa Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM).

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker