WNI Eks ISIS, Ketakutan Jokowi dan Deradikalisasi ‘Memble’

Abadikini.com, JAKARTA – Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah memutuskan untuk tidak memulangkan sekitar 689 Warga Negara Indonesia (WNI) eks anggota/simpatisan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) ke Indonesia.

Dalih utamanya, Jokowi khawatir ratusan WNI itu menyebarkan virus terorisme ketika kembali ke Indonesia. Selain itu, kehadiran mereka ditakutkan akan mengancam kehidupan 267 juta rakyat Indonesia.

Ketakutan itu berkaca pada pengalaman WNI yang pernah menjadi mujahidin dalam Perang Afghanistan pada medio 1980 sampai 1990-an. Setelah dari Afghanistan, mereka kembali ke Indonesia, dan beberapa di antaranya melakukan teror bom pada awal 2000.

Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail mengatakan ada sejumlah perbedaan dari WNI yang pergi ke Afghanistan beberapa tahun silam dengan gelombang ratusan WNI yang ingin bergabung ke ISIS di Suriah.

Huda menyebut para WNI yang pergi ke Suriah tak memiliki alasan tunggal, yakni hanya bertujuan menjadi kombatan ISIS. Ada dari mereka yang pergi karena ingin tinggal di sebuah negara dengan sistem khilafah hingga karena mengikuti langkah laki-laki yang dicintainya. Mereka yang berangkat juga tak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan hingga anak-anak.

Selain itu kelompok yang memberangkatkan juga lebih dari satu. Terlebih saat ini media sosial sudah berkembang pesat, tidak seperti pada puluhan tahun lalu ketika orang-orang Indonesia pergi ke Afghanistan.

“Jadi alasannya tidak tunggal, itu yang membedakan. Dan yang paling penting mobilisasinya itu tidak tunggal, tidak satu kutub (kelompok),” ujarnya.

Huda mengatakan gelombang pengiriman WNI pertama ke Afghanistan, ketika sedang berperang melawan Uni Soviet (kini Rusia), dilakukan kelompok Darul Islam yang dipimpin Abdullah Sungkar pada 1985.

Seiring berjalannya waktu Darul Islam pecah sekitar 1992/1993, lalu lahir kelompok baru bernama Jemaah Islamiyah (JI) yang terafiliasi dengan Abu Bakar Ba’asyir. Menurut Huda, dua kelompok ini yang mengirim WNI untuk mendapat ‘pendidikan’ di Afghanistan.

“Tapi dulu itu yang pergi ke Afghanistan itu tidak semuanya jadi teroris. Hanya sebagian kecil,” kata Huda kepada CNN Indonesia yang dilansir Abadikini, Kamis (13/2).

Huda menuturkan ketika itu orang yang pergi ke Afghanistan harus menjadi anggota Darul Islam dan JI dulu. Sebelum berangkat, mereka mengikuti pelatihan militer di wilayah Aceh selama sekitar tiga tahun. WNI yang pergi juga semuanya adalah laki-laki dan tak membawa istri serta anaknya. Para WNI ini akan mengikuti pendidikan dan pada saat turun ke medan tempur. Berdasarkan datanya, total yang berangkat ke Afghanistan sekitar 250 orang.

Di hubungi terpisah, Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh, Aceh, Al Chaidar Abdul Rahman Puteh mengatakan ada perbedaan ideologi antara ‘alumni’ Afghanistan dengan WNI yang berafiliasi dengan ISIS. Ia menerangkan mereka yang berada di Afghanistan ideologinya wahabi-jihadi, sementara ISIS berpegang pada ideologi wahabi-takfiri.

“Takfiri itu suka mengkafirkan orang lain, suka membunuh orang Islam. Kalau wahabi jihadi enggak, orang Islam enggak dibunuh sama dia, enggak mengkafirkan orang lain,” katanya.

Di satu sisi, ia mengkritik sikap Jokowi yang tak mau memulangkan ratusan WNI eks ISIS tersebut. Menurutnya, penolakan itu menunjukkan pemahaman pemerintah soal fundamentalisme yang ada di Indonesia.

Ia menyebut pemerintah juga tak paham tentang situasi masyarakat Indonesia yang pergi ke Suriah. Seperti Huda, Al Chaidar menilai tak semua WNI yang berangkat ke Suriah itu ikut bergabung dan turun ke medan tempur di bawah bendera ISIS.

Al Chaidar mengatakan justru banyak WNI yang tujuan awalnya pergi itu untuk hidup di dalam khilafah, dan tergiur dengan janji serta propaganda yang dilakukan ISIS melalui media sosial.

Salah satu contoh, lanjutnya adalah keluarga Dwi Joko yang terbuai janji manis ISIS. Dwi pergi ke Suriah bersama 25 anggota keluarganya pada 2015. Sebab tak kerasan, Dwi bersama 17 keluarganya yang tersisa berhasil kabur dari ISIS dan kembali ke Indonesia pada 2017.

“Mereka enggak bergabung dengan ISIS, mereka berangkat ke sana karena mereka mengira itu negara khilafah, negara yang damai, negara yang penerapan hukum Islam, gitu,” ujarnya.

Bahkan Al Chaidar berani menyebut sejumlah orang asal Indonesia yang pergi ke Suriah itu adalah korban dari propaganda ISIS yang semakin gencar usai mendeklarasikan diri pada 2014 lalu. Oleh karena itu, ia menyayangkan sikap pemerintah yang tak mau memulangkan mereka itu.

“Lalu katanya [yang mau dipulangkan] anak anak di bawah 10 tahun. Anak-anak 10 tahun butuh ibunya, masa mau dipisah,” kata dia.

Deteksi dan Deradikalisasi

Terlepas dari kekhawatiran pemerintah terhadap ratusan eks ISIS jika kembali ke Indonesia akan menyebarkan virus terorisme, Noor Huda justru lebih menyoroti langkah pemerintah dalam mendeteksi dan mendata mereka.

Pria yang pernah mengenyam pendidikan di Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Solo, itu mengajak semua pihak, termasuk pemerintah tak hanya terjebak dalam narasi polemik pemulangan ratusan WNI. Hal yang penting, kata Huda, adalah sejauh mana pemerintah bisa mendata ratusan WNI yang disebut berada dalam beberapa kamp penampungan di Turki dan Suriah.

“Ini masalahnya kita itu pengen WNI yang di sana itu terdeteksi enggak, terdata oleh aparat kita enggak,” tuturnya.

Huda mengatakan bukan tak mungkin ada dari ratusan WNI yang kini tinggal di penampungan itu kembali ke Tanah Air melalui pintu resmi maupun ‘jalur tikus’ tanpa terdeteksi.

“Kalau enggak kita ambil mereka bisa saja pulang sendiri, dengan penuh kemarahan,” ujar Huda. “Cuma permasalahan itu orang menjadi ketakutan itu dibesarkan oleh asumsi publik, terutama media. Kira-kira begitu.”

Di satu sisi, Al Chaidar menyatakan pemerintah seperti tak yakin dengan program deradikalisasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) lantaran menolak memulangkan eks pendukung ISIS itu.

Ia pun mendorong pemerintah mengevaluasi program deradikalisasi yang selama ini dilakukan. Menurutnya, program itu tak akan berjalan dan benar-benar berhasil, karena sejak awal sudah salah dari teorinya.

Ia sedikit menggambarkan tahapan bagaimana seseorang bisa menjadi radikal sehingga akhirnya menjadi teroris. Menurutnya, seseorang akan melalui proses dari level pluralisme, multikulturalisme, kemudian ke konservatisme. Setelah konservatisme itu, lanjutnya, baru turun ke level intoleransi, fundamentalis, radikalisme, dan terakhir adalah terorisme.

“Jadi kalau mau mengembalikan terorisme, kembalikan dulu ke tingkat radikal, kembalikan ke tingkat fundamentalis, kemudian kembalikan lagi ke tingkat konservatif. Jadi jangan terus radikal dan tidak radikal, ya enggak bisa lah,” ujar Al Chaidar.

“Jangan-jangan pemerintah enggak yakin dengan Pancasila juga? Karena begini, saya sudah bilang bahwa dengan menerima mereka kita ingin menunjukkan bahwa Pancasila itu sakti,” imbuhnya.

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker