Membentuk Kembali Imajinasi Publik Terhadap Sikap Anti Korupsi

AKHIR tahun 2019, masyarakat berlomba-lomba membuat refleksi satu tahun terakhir. Biasanya refleksi semcam ini dipungkasi dengan pencetusan resolusi tahun depan. Lazimnya berisi pencapaian-pencapaian apa yang ingin dilakukan tahun depan. Meskipun terlaksana atau tidak itu urusanlain, yang penting bikin resolusi dulu.

Bagi saya, selama tahun 2019 yang berkesan adalah ketika mengisi materi mengenai pendidikan politik di salah satu SMA di kota Surabaya. Begitu diminta untuk menyebutkan kata pertama yang muncul di pikiran mereka mengenai politik, satu hal yang tercetus adalah korupsi. Terlebih ketika diminta menyebutkan tokoh, mayoritas kompak menyebut nama-nama pejabat publik yang menjadi tersangka bahkan terdakwa korupsi.

Artinya, dalam ingatan mereka sepak terjang pelaku korupsi jauh lebih melekat dari pada sepak terjang perlawanan terhadap korupsi.
Ini terjadi karena ruang publik kita lebih sering diisi oleh citra dan pemberitaan buruk mengenai korupsi.

Penangkapan tersangka korupsi menjadi topik yang bombastis dalam pemberitaan media kita. Perbincangan mengenai korupsi seringkali berkisar pada dampak buruk korupsi, besarnya rupiah yang dikorupsi dan persoalan HAM dalam korupsi. Pendeknya, imajinasi publik soal isu korupsi selalu negatif.

Hal ini patut diwaspadai mengingat masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia sedang menjadi sorotan. Pendekatan kelembagaan dalam usaha pembertasan korupsi dinilai banyak pihak sedang mengalami kemunduran.

Revisi Undang-Undang mengenai pemberantasan korupsi yang terganjal dinamika politik sampai pengangkatan pimpinan baru KPK yang ramai-ramai dikritik adalah wajah yang sampai ke publik dari pemberantasan korupsi Indonesia akhir-akhir ini.

Di sini justru peran publik yang sehat menjadi penting. Ditengah gempuran berita buruk mengenai pemberantasan korupsi, penting menjaga diskusi mengenai anti korupsi tetap mengisi ruang publik. Publik harus tetap diingatkan bahwa tangung jawab melawan korupsi bukan hanya tanggung jawab lembaga negara namun juga tanggung jawab setiap warga negara.

Pendidikan digadang-gadang sebagai jawaban atas korupsi yang terlanjur membudaya. Namun banyak pihak menilai pendidikan kita gagal menciptakan budaya anti korupsi. Justru makin banyak tersangka korupsi dari kalangan terdidik.

Saya membayangkan beban berat ada pada pendidik kita. Terbayang susahnya membudayakan sikap anti korupsi ketika ingatan publik terlanjur pakem melihat korupsi adalah tersangkanya. Hal ini yang perlu menjadi perhatian bersama. Cara-cara kreatif untuk menggeser perhatian publik dari para tersangka korupsi kearah pencegahan korupsi mutlak diperlukan.

Salah satu cara kreatif yang dapat dilakukan adalah memunculkan ikon anti korupsi yang tumbuh bersama masyarakat seperti yang telah dilakukan Nepal selama 5 tahun terakhir. Nepal adalah negara pioner integrity idol, inisiatif dari masyarakat sipil untuk menjaga semangat positif dari inisiatif pemberantasan korupsi.

Yang dilakukan cukup sederhana. Daripada memberitakan mengenai pelaku korupsi, lebih baik memberikan panggung terhadap pegawai negara yang bersih dari korupsi, yang bisa menjadi simbol perlawanan terhadap korupsi.

Selama ini jika kita perhatikan di media, pemberitaan mengenai pelaku korupsi seringkali menguliti tentang kehidupan pribadi pelakunya. Sri Wahyumi dan Rita Widyasari adalah dua bupati perempuan yang terjaring OTT KPK tahun 2019.

Gaya hidup mewah keduanya pun tak luput dari pemberitaan media. Bagaimana mewahnya perhiasan hingga tas keduanya menjadi topik pemberitaan dibanyak media. Publik sekali lagi disuguhi popularitas pelaku korupsi.

Untuk menjaga semangat positif publik, inisiatif yang digagas oleh Accountability Lab ini meminta publik menominasikan pegawai pemerintah di sekitar mereka yang dianggap bersih. Pegawai negara yang diajukan tidak harus pejabat tertentu.

Belajar dari pengalaman Nepal, justru pegawai di level bawah, yang bersentuhan langsung dengan pelayanan terhadap masyarakat adalah yang paling efektif untuk membentuk kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan publik.

Langkah selanjutnya, diadakan kontes nasional untuk memilih tokoh yang dianggap paling mewakili semangat anti korupsi melalui pooling via sms, telepon dan sosial media. Seringkali nama-nama yang muncul justru mengejutkan dan tidak disangka-sangka.

Publik Nepal justru menominasikan guru, bidan, suster, pegawai departemen kehutanan dll. Kondisinya persis dengan ajang pencarian bakat bernyanyi yang laris manis di televisi nasional kita, banyak figure yang tidak disangka-sangka muncul. Bedanya yang dipilih adalah figur anti korupsi.

Nepal berhasil meningkatkan kepercayaan pelayanan publik dari dengan menggunakan formula ini. Di tengah kondisi Indeks Persepsi Korupsi yang berada di posisi 124 dari 180 negara pada tahun 2018, meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan publik menjadi kabar baik. Setidaknya bisa menjadi titik berangkat untuk usaha pemberantasan korupsi yang lebih terstruktur.

Di Indonesia, kita sering mendengar guyonan Gus Dur bahwa hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia, yakni polisi tidur, patung polisi dan Hoegeng. Hoegeng yang dimaksud adalah mantan Kapolri era 1968-1971 yang terkenal akan kejujuran dan integritasnya terhadap kepentingan publik.

Namun pada era kekinian agak sulit menjadikan Hoegeng sebagai contoh karena konteks jaman yang jauh berbeda. Ditambah lagi cerita mengenai integritas Hoegeng yang sampai ke publik adalah ketika Hoegeng menjabat Kapolri. Mungkin publik sulit mengimajinasikan bagaimana keseharian seorang tokoh yang punya integritas dan kejujuran tinggi.

Artinya, kita perlu Heogeng-Hoegeng baru yang berasal dari sekitar kita. Berasal dari rakyat biasa, tumbuh dan menghadapi realitas sosial yang sama namun dia masih menunjukan kejujuran dan integritas yang tinggi.

Sebenarnya jika mau menggali lebih dalam, kita sering mendengar selintas kisah inspiratif mengenai pegawai negeri yang punya integritas tinggi terhadap sikap anti korupsi.

Tahun 2013 sempat viral Aiptu Jailani, anggota Satlantas Polres Gresik yang tidak pandang bulu dalam menindak pelanggaran lalu lintas. Ia dikabarkan pernah menilang Pejabat Pemkab, anggota KPK bahkan istrinya sendiri tak luput dari penindakan.

Contoh lain datang dari tangerang. Rumini, seorang guru SD honorer di Tangerang membongkar indikasi pungli yang dilakukan SDN tempat dia mengajar. Dan masih banyak contoh inspiratif lainnya dalam pemberantasan korupsi.

Orang-orang seperti Aiptu Jailani dan Guru Rukmini ini yang harus dijadikan “selebriti” dalam melawan korupsi.  Diliput kesehariannya, dijadikan contoh falsafah hidupnya dan diteladani prinsip serta integritasnya.

Ditayangkan ditelevisi nasional sebagai wujud menebarkan semangat positif dalam melawan korupsi. Diberikan panggung seluas-luasnya agar masyarakat dapat memilih figur anti korupsi mana yang cocok sebagai teladan mereka sehari-hari.

Selama ini pegawai negeri yang dianggap berjasa bagi publik hanya mendapat penghargaan dari instansi masing-masing. Padahal negeri ini butuh inspirasi dari figur anti korupsi yang tumbuh bersama publik.

Sehingga transfer nilai anti korupsi bisa ditangkap dengan mudah oleh imajinasi publik dan diterjemahkan menjadi budaya sehari-hari. Harapannya tahun depan resolusi bangsa selain kemajuan ekonomi juga membumikan budaya anti korupsi.

Oleh : Dias Pabyantara
Penulis adalah peneliti gender dan globalisasi Center for Identity and Urban Studies (CENTRIUS)

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker