Pasal-pasal Kontroversial di RKUHP yang Bikin Jokowi Tunda Pengesahannya

Abadikini.com, JAKARTA – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) buatan anak bangsa kali ini menuai pro dan kontra. Setelah Indonesia merdeka, pembuatan KUHP buatan Belanda akan diperbarui selalu gagal. Kini Presiden Joko Widodo atau Jokowi juga menunda pengesahannya tidak dilakukan DPR pada periode ini. Dan dibahas kembali pada periode selanjutnya yang akan dilantik pada 1 Oktober nanti.

“Pengesahannya tidak dilakukan oleh DPR periode ini. Saya berharap DPR juga mempunyai sikap yang sama sehingga pembahasan RUU KUHP bisa dilakukan oleh DPR RI periode berikutnya,” kata Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat, yang dilansir Aabadikini dari Merdeka, Ahad (22/9/2019).

Alasannya ada 14 pasal yang membutuhkan pengkajian ulang. Tetapi mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut enggan membeberkan fokus dalam pasal yang harus dikaji. Dia pun memerintahkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk meminta masukan dari berbagai kalangan.

“Saya saat ini masih fokus kepada RUU KUHP, yang lain menyusul. Karena ini yang dikejar oleh DPR, kurang lebih ada,” kata Jokowi.

Menkum HAM Klarifikasi Pasal Kontroversi

Ada beberapa pasal-pasal dalam revisi KUHP yang dinilai kontroversial. Mulai dari pasal penghinaan presiden, aborsi, persetubuhan di luar pernikahan dipidana, pasal pencabulan sesama jenis, pelaku kumpul kebo akan dipidana, pasal kecerobohan memelihara hewan, hukum adat, hingga gelandangan akan didenda 1 juta.

Setelah Presiden Joko Widodo, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly pun memberikan penjelasan terkait revisi tersebut diminta ditunda. Dia mengklaim adanya kesalahpahaman masyarakat terhadap pasal-pasal di RKUHP sehingga menilai RKUHP cenderung mengkriminalisasi setiap orang.

“Seolah-olah UU ini cenderung mengkriminalisasi semua, pesannya jadi seperti itu, jadi ini seperti hukum kriminal, padahal justru pidana justru lebih ringan daripada yang sekarang. Jadi, jangan seolah-olah kita bernostalgia dengan hukum-hukum kolonial,” ujar Yasonna saat menggelar konferensi pers di Graha Pengayoman di Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Jumat (20/9).

Dia juga menjelaskan KUHP tersebut sudah dibahas selama 4 tahun bersama para pakar. Yasonna menjelaskan pasal 219 tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Yasonna mengatakan ketentuan ini merupakan delik aduan yang dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden.

Yasonna mengklaim pasal tersebut sudah ada dalam pertimbangan keputusan mahkamah konstitusi mengenai pasal ini yang sebelumnya sudah dibatalkan. Dia pun meminta kepada publik agar tidak diartikan membungkam kebebasan pers.

“Jangan dikatakan bahwa membungkam kebebasan pers membungkam ini ya,” ungkap Yasonna.

Lalu, Pasal 278 tentang pembiaran unggas. Menurut dia, pasal tersebut mengatur sanksi yang lebih rendah dibanding KUHP yang berlaku saat ini. Dengan berdalih ada beberapa oknum yang curang dalam lingkup pedesaan.

“Jadi jangan dikatakan mengkriminalisasi,” kata Yasonna.

Kemudian, pasal Pasal 414 tentang mempertunjukkan alat kontrasepsi. Dalam draf Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) disebutkan ‘Setiap Orang yang secara terang terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada Anak dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I’.

“Ancaman pidananya jauh lebih rendah dibandingkan dengan KUHP yang berlaku saat ini dan pasal ini tidak menjerat kepada orang yang telah dewasa,” kata Yasonna.

Yasonna mengatakan mengklaim publik lagi-lagi salah mengerti. Dalam pasal tersebut, kata dia, terdapat pengecualian untuk program KB, pencegahan penyakit menular, kepentingan pendidikan dan untuk ilmu pengetahuan. Serta kata dia, tidak dipidana jika yang melakukan hal tersebut adalah relawan kompeten ditunjuk oleh pejabat berwenang.

Hal tersebut kata dia, sudah diatur dalam Undang-Undang Kesehatan. Sebab itu revisi tersebut untuk mengkodifikasi. Dia menjelaskan ketentuan hukum-hukum pidana saat ini diatur. Menurut dia, ancaman hukum pidananya saat ini lebih rendah dari KUHP yang ada.

“Sekarang maka kita buat dia dalam generik formnya, karena ini adalah KUHP bersifat kodifikasi yang terbuka,” tambah Yasonna.

Pasal 418 tentang kohabitasi menurut Yasonna, pasal itu digunakan dengan catatan diadukan oleh keluarga inti. Keluarga inti yang dimaksud ialah suami atau istri, anak, dan juga orangtua. Namun tidak menutup kemungkinan diadukan oleh pihak lain, seperti kepala desa.

“Sepanjang mendapatkan persetujuan tertulis dari suami atau istri, anak, atau orangtua,” jelas Yasonna.

Lalu dalam draf revisi KUHP pasal pasal 602 menyebutkan ‘Setiap Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu Korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI’.

Dia mengklaim ketentuan dalam revisi tersebut adalah sinkronisasi antara Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Yang mengancamkan untuk setiap orang lebih tinggi dari ancaman minimum khusus bagi penyelenggara negara karena pasal 2 UU Tipikor mencantumkan ancaman minimum khusus paling rendah 4 tahun. Sedangkan untuk penyelenggara negara kata dia, dalam Pasal 3 mencantumkan minimum khusus paling rendah 1 tahun. Artinya KUHP ditujukan menurut dia, untuk melindungi pelaku yang tidak memiliki peran besar dalam tindak pidana korupsi.

Kemudian, dia pun membandingkan UU Tipikor lama, di dalamnya kata dia, pejabat negara ancaman hukumannya minimum satu tahun. Selain pejabat negara, kata dia dinaikin. Hukumannya akan lebih besar.

“Jadi melindungi pelaku yang tidak memiliki peran besar dalam tindak pidana korupsi dan memberikan ancaman hukuman lebih berat kepada pelaku yang memegang peran dalam pelaksanaan korupsi,” jelas Yasonna.

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker