Insiden Papua, Siapa Dirugikan?

Saya ikut menyebarkan video seorang mama di Papua yang berteriak “NKRI dan mencium bendera merah putih”. Saya ingin masyarakat, baik di dalam maupun luar negeri paham, bahwa masyarakat Papua sangat mencintai NKRI, bukan seperti yang dipropagandakan kelompok kriminal bersenjata di luar negeri.

Sayangnya saya mendengar di dalam negeri, justru ribut mengenai bubarkan Banser dan bubarkan FPI. Setahu saya kedua ormas ini sama-sama ahlussunnah wal jamaah dan dekat dengan ulama. Siapa yang melakukan ini?, semua masih samar. Belajar dari sejarah, cara adu domba, menyebarkan fitnah adalah cara yang paling efektif menaklukan sebuah bangsa.

Niat baik menjaga NKRI itu sangat baik, tapi tidak harus dengan kekerasan, apalagi menyebut saudara kita dengan nama hewan. Semakin banyak kelompok bergerak dengan tujuan menjaga keutuhan NKRI tentu kita apresiasi. Jika caranya kasar, rasis, sombong, dan menyebar ujaran kebencian tentu membuat nama NKRI itu sendiri yang jelek.

Bagi Greenwalt (1995), akibat dari provokasi kebencian dapat berujung pada reaksi kekerasan. Apalagi, provokasi kebencian itu disampaikan lewat bahasa atau simbol tertentu. Dalam hal ini, lewat bahasa atau sebutan ‘monyet’ yang digunakan untuk memprovokasi. Insiden kekerasan yang terjadi belakangan ini cukup menjadi bukti tesis Greenwalt.

Belakangan beredar video seorang warga Papua mengibarkan bendera merah putih. “Saya tidak takut mati demi merah putih. Catat itu. Catat itu,” teriak lelaki itu dalam sebuah video. Kalau melihat semangat itu, masih kah kita mempertanyakan cinta NKRI yang dimiliki masyarakat Papua?.

“Ada apa dengan Indonesia ku ini. Dulu pahlawan mati-matian berjuang untuk mendapatkan kedamaian, mengapa kedamaian itu kini malah kita sendiri yang menghancurkan. Ada apa dengan indonesiaku kini. Dulu setiap nyawa dan darah yang mengalir begitu berarti,” komentar salah satu netizen dalam postingan video itu di akun instagram saya.

Lalu, siapa yang dirugikan atas insiden Papua tersebut?. Selain masyarakat Papua, tentu saja NKRI dirugikan. Papua adalah bagian tidak terpisahkan dari NKRI.

Solusi masalah ini bisa dimulai dengan permintaan maaf kepada masyarakat Papua. Permintaan maaf bisa jadi panecea atas insiden yang menimpa saudara kita masyarakat Papua. Setelah meminta maaf, apakah perkara selesai?, tentu saja belum. Namanya saja panecea, sifatnya sementara.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kota Surabaya telah melakukan komunikasi dengan warga Papua yang ada di wilayahnya. Mereka juga telah meminta maaf atas insiden yang terjadi di Surabaya beberapa waktu lalu. Langkah ini perlu diapresiasi. Langkah ini bisa juga dilakukan oleh pihak-pihak terkait.

Insiden yang menimpa warga Papua itu bisa menjadi trigger untuk mengevaluasi perkembangan Papua sebagai bagian tidak terpisahkan dari NKRI. Apalagi, Papua secara geologis memiliki sumber daya alam yang menguntungkan bagi negara.

Badan Pusat Statisik (BPS) Provinsi Papua merilis presentase penduduk miskin pada Maret 2019. Secara keseluruhan menurut daerah, penduduk miskin yang tinggal di kota maupun tinggal di desa di wilayah Papua tercatat sebanyak 926,36 ribu jiwa.

“Papua menjadi peringkat pertama persentase penduduk miskin terbesar di Indonesia timur, termasuk peringkat kedua adalah Papua Barat dan peringkat ketiga NTT,” kata Kepala BPS Papua, Simon Sapary, Senin (15/7/2019).

Bukankah Papua mempunyai SDA yang melimpah, mengapa tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat Papua?. Artinya, kekayaan alam tanah Papua tidak banyak memberi keuntungan bagi seluruh warga lokal.

Catatan dari Tim Kajian Papua Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa diskriminasi dan marjinalisasi kepada penduduk Papua serta serangkaian pelanggaran HAM merupakan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya berbagai permasalahan di wilayah tersebut, di samping belum optimalnya pembangunan.

Belum lagi masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Mengacu Papua Road Map yang dibuat Tim Kajian Papua LIPI pada 2009, sumber konflik di Papua bersumber dari pelanggaran HAM masa lalu yang penyelesaiannya menggantung.

Jika dibiarkan berlarut-larut, ketimpangan sosial bukan tidak mungkin akan semakin melebar. Kelompok dominan akan semakin dominan. Kelompok yang dibenci akan terus tersingkirkan. Karena itu, penanganan masalah Papua tidak bisa disederhanakan, tanpa mempertimbangkan konteks yang lebih luas.

Insiden Papua menyadarkan kita sebagai masyarakat Indonesia tidak boleh terkotak-kotak berdasarkan daerah dan lain-lain. Kita mempunyai rumah besar, ada 34 kamar provinsi, dan kamar-kamar lainnya.

Sejak reformasi, banyak yang memikirkan kamarnya sendiri-sendiri, dan bahkan eksklusif. Padahal, kebhinnekaan dalam keberagaman itu haruslah inklusif. Kita juga tidak boleh lupa bahwa kita satu rumah besar NKRI, yang harus dijaga dan dirawat.

Ya Allah, lindungi negeri kami, NKRI ini, dari orang-orang yang ingin mengadu domba dan memecah-belah persatuan kami. Para pendiri RI telah berjuang ikhlas mengorbankan segalanya untuk membangun persatuan NKRI.

Adhyaksa Dault
*Menteri Pemuda dan Olahraga RI 2004-2009

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker