Mirisnya Pendidikan di Indonesia

Oleh : Shofiana Dewi (Kohati Komisariat Sumenep)

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen (UUGD) dan juga Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 tahun 2007 membahas tentang standar kualifikasi dan kompetensi guru mewajibkan guru PAUD minimal sarjana.

Sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Pemerintah 74 Tahun 2008 Tentang Guru menjelaskan guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi dan sertifikat pendidik.

Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 menjelaskan ada dua kualifikasi akademik guru yaitu kualifikasi guru melalui pendidikan formal dan melalui uji kelayakan dan kesetaraan. Kompetensi guru dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi utama yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian sosial dan professional.

Nah, berkaca pada itu maka sudah jelas bahwa minimal guru itu wajib bertitle Sarjana (S1) namun pada realitanya masih banyak sekali lembaga-lembaga sekolah yang merekrut tenaga pengajar yang tidak bertitle (S1) dengan berbagai alasan dan alasan yang paling umum yaitu guru tersebut masih memiliki hubungan keluarga dengan pemilik lembaga sekolah itu.

Pemilik lembaga lebih memilih merekrut keluarganya sendiri yang tidak bergelar sarjana (S1). Ada sebuah lembaga sekolah yang berada di bawah naungan pondok pesantren.

Lembaga tersebut terdiri dari tingkat PAUD, MI, MTS hingga SMA. Mulai dari PAUD yang merekrut tenaga guru yang tidak bergelar Sarjana (S1) berlanjut ke tingkat MI, MTS dan SMA juga demikian.

Penulis tidak menyarankan untuk memberhentikan guru yang tidak sarjana dan menggantinya dengan guru yang telah sarjana. Penulis menyarankan agar potret kualitas pendidikan di lembaga itu direhabilitasi. Mulai dari guru yang masih belum menempuh pendidikan di perguruan tinggi agar segera demi terciptanya pendidikan berkualitas.

Guru yang mengajar tidak linier dengan jurusannya maka dilinierkan misalnya guru yang telah menempuh pendidikan teknik agar ditempatkan di mata pelajaran teknik, apalagi saat ini telah menjamur SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) seperti yang mengkonsentrasikan anak didiknya di bidang Ilmu Teknologi.

Jika penulis mengatakan bahwa lembaga yang masih saja merekrut guru tidak berakualifikasi akademik merupakan lembaga sekolah yang sudah jelas cacat peraturan pendidikan, masih akan membantah?

Bagaimana mau mencerdaskan anak didk generasi penerus bangsa, jika tenaga pendidiknya sendiri tidak ingin dicerdaskan?

Logikanya apakah bisa dibenarkan anak-anak didik SMA yang merupakan calon Mahasiswa dan Mahasiswi itu akan dididik oleh oknum-oknum yang merupakan lulusan SMP, SMA dan bahkan SD?

Dengan kata lain anak SMA dididik oleh anak SMP. Bukan hanya cacat lagi melainkan telah mencoreng dunia pendidikan. Mencoreng nama baik dunia pendidikan itu bukan hanya karena adanya tindak asusila yang dilakukan guru ke muridnya.

Di Indonesia ini masih banyak sekali lembaga-lembaga pendidikan yang tidak mau mentaati peraturan pemerintah.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 46 tahun 2016 Tentang Penataan Linieritas Guru Bersertifikat Pendidik. Upaya linierisasi tenaga pendidik tersebut sesungguhnya bukanlah hal baru dalam dunia penddikan.

Peraturan itu nyatanya telah berlaku sejak tahun 2009 namun realitanya lagi-lagi masih ada lembaga pendidikan yang membangkang. Misalnya, anak lulusan jurusan pertanian malah mengajar anak PAUD serta anak SMA dengan materi lokal agama. Itu sudah jelas tidak sinkron.

Mungkin jika dilihat dan dipertimbangankan secara kompetensi, dia mampu namun secara keilmuan bidang dan profesionalitas kerja itu merupakan pertanyaan besar. Setiap guru tak hanya dituntut untuk kompeten melainkan juga harus professional.

Patut disayangkan dengan ilmu pertaniannya yang telah ditempuh selama 4 tahun. Implementasi terhadap ilmu tersebut akan dijadikan seperti apa?

Jadi, bukan hanya sekedar menimba ilmu di perguruan tinggi agar perguruan tinggi tak hanya sekedar djadikan jembatan guna meraih gelar sarjana tapi nanti tidak mampu mengambil nilai andil untuk diimplementasikan dengan professional dan kompeten.

Ada lagi seperti anak jurusan Bimbingan Konseling tapi mengajarnya malah di bidang anak PAUD. Seharusnya lulusan Bimbingan Konseling itu konsentrasi profesionalitas kerjanya di bagian konseling khusus anak didik.

Penulis masih baru menemui satu sekolah yang di situ ada seorang anak yang memiliki keterbelakangan mental atau berkebutuhan khusus. Si anak berkebutuhan tersebut mulai dari SD hingga beranjak ke tingkat SMA tidak ada perubahan. Pihak lembaga tetap menyamakan anak itu seperti anak lainnya.

Teman-temannya naik kelas, si anak itu juga dinaikkan. Pertanyaannya, kenapa tidak ada peran dari guru konseling untuk menangani anak tersebut?

Jika alasannya karena di lembaga itu tidak ada guru yang mengampu bidang konseling maka seharusnya pihak lembaga menyediakan guru yang memang professional di bisang tersebut.

Namun sungguh miris, kehadiran dan peran guru konseling sangat diabaikan. Seakan-akan pekerjaan seorang Konselor itu biasa saja dan mampu dilakukan siapapun.

Sudah rahasia umum apalagi saat saya temui di Kawasan Prenduan bahwa Mahasiswa dan Mahasiswi lulusan Fakultas Dakwah jurusan BK (Bimbingan Konseling) itu ketika melamar kerja di sekolah.

Selanjutnya pihak sekolah menempatkannya di bagian TU (Tata Usaha) lebih tidak sinkron lagi karena seharusnya yang bekerja di bagian TU adalah yang memang lulusan Ilmu Teknologi Komputer. Kenapa lebih banyak tidak berkesinambungan?

Mengajar dan mendidik merupakan dua hal yang berbeda. Apakah lembaga sekolah hanya memprioritaskan pengajaran saja dan tanpa mempedulikan perkembangan jiwa peserta didiknya?

Secara formalitas si anak itu memang setara dengan teman-temannya namun secara IQ, SQ dan EQ? Sangat jauh panggang dari api, seperti kata peribahasa.

Pihak lembaga sudah tentu menyadari akan kondisi si anak, namun yang menjadi pertanyaannya yaitu kenapa si anak tidak diberikan penanganan pendidikan khusus?

Pertanggungjawaban bagaimana serta seperti apa yang harus si anak tersebut berikan terhadap lembaran-lembaran ijazah MI hingga SMA?

Bukankah intisari dari pendidikan itu adalah memanusiakan manusia? Atau mungkin intisari dari pendidikan sudah mulai dihilangkan dan lebih berpikir ke yang penting menempuh pendidikan serta mendapatkan selembar ijazah yang telah dilegalisir?

Di lembaga itu tak hanya gurunya yang tidak linier dan tidak berkualifikasi akademik. Kepala SMA tersebut hanya merupakan lulusan SMP. Tak hanya menjabat sebagai kepala sekolah namun juga menjabat sebagai Biro Pendidikan di lembaga itu.

Seperti yang telah penulis katakana bahwa memang kepala sekolah itu juga sangat mumpuni sebagai seorang leader namun kenapa professional kerjanya tidak diindahkan?

Profesional memiliki tiga hal yang urgen di antaranya skill, knowledge dan attitude. Seseorang harus benar-benar ahli dalam suatu bidang, menguasai secara mendalam serta yang tidak kalah penting yaitu tidak hanya sebatas pintar akan tetapi memiliki etika dalam bidang tekunnya.

Seperti kepala sekolah yang hanya merupakan lulusan SMP, berarti dirinya tidak memiliki etika dalam bidang yang ditekuni, sebagai seorang leader dan Biro Pendidikan. Pemerintah telah mengupayakan control yang baik seperti mendatangkan pengawas pendidikan ke sekolah.

Penugasan pengawas sekolah menurut PP Nomor 74 tahun 2008 pengawas terdiri dari pengawas satuan pendidikan, pengawas mata pelajaran atau pengawas kelompok mata pelajaran.

Ruang lingkup tugas pengawas adalah melakukan pembimbingan dan pelatihan professional guru dan pengawasan yang ekuivalensinya dengan 24 jam pembelajaran tatap muka dalam satu Minggu oleh Menteri Pendidikan Nasional.

Seorang staf TU pernah mengatakan apabila di lembaga tempat kerjanya telah datang pengawas pendidikan maka segala hal mulai dari pendataan jumlah peserta didik, sarana prasarana dan yang lainnya itu akan berusaha dimanipulasi karena menurutnya jika tidak demikian maka akan membahayakan lembaga yang bersangkutan misalnya akan ditutup paksa pemerintah.

Adanya usaha memanipulasi tersebut juga dengan alasan lain yaitu agar sekolah itu mendapatkan banyak bantuan dana dari pemerintah. Memaksakan berdirinya sebuah lembaga sekolah yang prioritas tujuan utamanya bukan menciptakan pendidikan anak bangsa melainkan hal sama yaitu mendapatkan suntikan dana dari pemerintah.

Sungguh miris terhadap potret pendidikan bangsa ini. Apakah pemerintah akan tetap berdiam diri dengan semua itu?

Saat ini banyak sarjana-sarjana strata satu menganggur tak terkecuali sarjana pendidikan terlebih sarjana pendidikan Agama Islam (PAI). Sudah dikatakan di awal bahwa lembaga-lembaga sekolah lebih memilih merekrut tenaga guru yang masih ada hubungan keluarga dengan lembaga tersebut meski tidak linier dan bahkan tidak berkualifikasi akademik S-I.

Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini lulusan PAI banyak yang dipandang sebelah mata bahkan ada yang sedikitpun tidak dipandang. Mereka beranggapan bahwa lulusan-lulusan Pendidikan Islam itu sudah banyak dan biasa saja.

Dan bagi lembaga sekolah yang memang benar-benar mentaati peraturan pemerintah tentang liniernya seorang guru maka mereka lebih memprioritaskan merekrut guru lulusan pendidikan Umum seperti Pendidikan Bahasa Indonesia, Pendidikan Bahasa Inggris, Pendidikan Ilmu Biologi dan sebagainya.

Lembaga sekolah yang mentaati peraturan pemerintah memang patut diacungkan jempol. Mereka mampu menyeimbangkan antara kompetensi dan profesionalitas kerja.

Ini masih berbicara tentang guru yang tidak berkualifikasi akademik dan linieritas guru, belum merembet ke yang lainnya. Pelaku dunia pendidikan sangat perlu untuk membenahi semua ini.

Harus ada tindak dan sanksi tegas bagi oknum-oknum lembaga pendidikan yang masih saja tidak peduli serta berani membangkang terhadap peraturan pemerintah.

Pemerataan profesionalitas kerja lembaga pendidikan harus benar-benar dipantau serta diarahkan dengan baik. Untuk menanam bibit-bibit unggul yang akan menumbuhkan generasi-generasi muda harapan bangsa itu tak cukup hanya sekedar berpendidikan yang formalitas.

Jika potret pendidikan kita dewasa ini seperti ini lantas bagaimana upaya-upaya yang akan ditempuh untuk mengejar ketertinggalan pendidikan kita dengan pendidikan-pendidikan di Negara lainnya?

Pemerintah sudah jelas mencanangkan serta melegalkan peraturan pendidikan berkualitas akan tetapi hanya saja pihak-pihak lembaga pendidikan tersebut tidak ingin menerimanya. Ini bukan hanya sekedar bualan tak nyata melainkan kenyataan fakta di lapangan yang terjadi.

Dikutip dari situs https://www.google.com/amp/s/m.merdeka.com/amp/peristiwa/potret-pendidikan-di-indonesia.html dalam praktiknya, sistem pendidikan Indonesia pernah menjadi kiblat Negara-negara tetangga salah satunya Malaysia.

Sekitar setengah abad lalu, pendidikan di Malaysia jauh tertinggal. Indonesia bahkan mengirim cukup banyak tenaga guru berkualitas ke Malaysia antara tahun 1960-1970an.

Malaysia juga mengirimkan putera-puteri terbaiknya untuk belajar di Indonesia. Namun kini roda telah berputar. Malaysia sudah berhenti mengimpor guru dan tidak mengirim pelajar. Indonesia kini yang berbondong-bondong belajar ke luar negeri.

Menurut Malaysia Education Promotion Centre (MEPC), tahun 2017 ada 14 ribu Mahasiswa asal Indonesia belajar di Malaysia. Sedangkan dari Malaysia hanya ada 6 ribu pelajar belajar di Indonesia.

Editor
Muhammad Saleh Rumata
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker