Belajar Seni Toleransi Lewat Izin Shalat di Swedia

Abadikini.com – “Hej…can I take for 5 minutes to pray here?” ujar saya dengan nada sedikit tercekat, memecah diskusi yang sedang berlangsung cukup sengit kelompok di tempat studi saya, KTH Royal Institute of Technology Stockholm.

“Pardon?” satu teman kerja kelompok saya yang berkebangsaan Swedia bertanya balik. Rasanya keringat dingin mulai bersekongkol untuk menggantung di sekitar dahi, tapi saya terus berusaha tenang.

“Errr, I need to pray for 5 minutes here. I’m not going anywhere,” ulang saya sekali lagi. Dengan tampang sedikit bingung, mereka mempersilakan.

Di atas kursi saya membetulkan posisi duduk sesuai arah kiblat yang saya ketahui dari aplikasi di ponsel cerdas.

Sedikit mengarahkan badan ke luar meja tempat kami belajar bersama, saya melaksanakan sholat dengan khusuk. Perbincangan yang ramai terdengar jadi hening sesaat.

Tidak seperti kebanyakan di Asia dan Afrika, ibadah dan keimanan adalah urusan paling privat di Negeri Barat.

Salah satu survei yang dilakukan WIN/Gallup International sempat menyebutkan Swedia menempati urutan ke-empat negara paling tidak merasa religius di dunia, setelah China, Jepang, dan Estonia.

Beruntung, Swedia termasuk negara yang menjunjung tinggi toleransi. Ditambah lagi, karakter orang-orang Skandinavia yang cenderung tidak ikut campur urusan orang lain karena memberi ruang pribadi.

Hampir tidak pernah saya mendengar cerita ada Muslim atau umat agama lain yang dihalangi beribadah atau mengekspresikan keimanannya. Muslimah tak akan diusik karena hijabnya.

Di sisi lain, karakter mereka yang tertutup dan jarang sekali kepo soal agama membuat saya kadang merasa sungkan untuk menunjukkannya, terutama urusan salat lima waktu.

Kecanggungan ini ternyata setali tiga uang dengan teman-teman sesama pelajar Indonesia lainnya. Kami seringkali memilih untuk sholat diam-diam ketimbang mengungkapkannya.

“Kan sholat urusan pribadi. Sama halnya izin ke toilet, orang nggak perlu tahu,” kata salah seorang kawan suatu hari.

Makanya buat saya, mengungkapkan keinginan untuk salat kepada non-Muslim menjadi seni berkomunikasi tersendiri. Cerita saya di awal tulisan adalah satu dari sekian cara saya mengungkapkan kebutuhan salat.

Dari sisi bahasa, saya tidak meminta izin kepada mereka. Tapi karena lagi seru-serunya diskusi, saya perlu menyodorkan alasan logis mengapa saya harus keluar dari lingkaran perbincangan untuk sementara waktu.

Dari mata kuliah Intercultural Communication, saya mendapat banyak inspirasi dan pengetahuan tentang bagaimana budaya yang beragam sebaiknya tidak melulu dicari dan dikaji dari sisi perbedaannya semata.

Kita tahu bahwa orang Indonesia yang Muslim itu berbeda dengan orang Swedia yang mayoritas Kristen dan tak sedikit yang ateis.

Orang Indonesia suka sekali bertegur sapa dengan pertanyaan berbasis aktivitas rinci seperti “dari mana? Sudah makan? Mau ke mana?”, sedangkan orang Swedia lebih terbiasa bertegur sapa dengan menanyakan keadaan yang kesannya hanya basa-basi, “How are you?”

Jadi, yang seharusnya ditekankan ialah bagaimana mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan tersebut melalui komunikasi, sehingga dari situlah toleransi bisa terwujud.

Nah bersyukur, tak sedikit pula kawan-kawan pelajar yang punya pengalaman mengenai sholat yang dikomunikasikan. Cara komunikasinya bermacam-macam.

Beberapa menggunakan ekspresi kalimat berupa pernyataan seperti “hej, I need to pray. Only 3-5 minutes. I will join you later.”

Ada pula yang menambahkan kata imperative agar lebih sopan, misalnya “excuse me, can I go for awhile to pray?”

Tak hanya di lingkungan akademis, di kehidupan sehari-hari permintaan untuk salat ini bukan sesuatu yang tabu. Seorang kawan lain menceritakan pengalamannya meminta izin salat saat berkunjung ke Naturhistoriska Museet di Stockholm.

Si penjaga museum malah dengan murah hati memasang plang penanda ‘selain staf dilarang masuk’ pada sebuah ruangan agar ia bisa beribadah tanpa terganggu pengunjung yang mondar-mandir.

Dari kisah-kisah itu, semuanya lancar-lancar saja menjalankan ibadah salat. Kuncinya satu; komunikasi.

Menurut Politeness Principles, Robin Tolmach Lakoff (1942) menyusun tiga prinsip kesopanan dalam sebuah interaksi yang baik.

Ketiganya ialah jangan memaksakan, berikan opsi pada penerima, dan buat penerima merasa nyaman.

Untuk konteks salat, kesuksesan toleransi beribadah di Swedia tetap bergantung pada bagaimana kita menyampaikannya. Yakni tetap sopan dalam meminta izin, beri gambaran bahwa sholat itu penting bagi umat Islam, tapi nggak ribet. Hanya sebentar dan butuh tempat kecil yang bersih saja.

Jujur di lubuk hati yang paling dalam, saya pun tak mau jika permintaan sholat saya dipandang sebagai polah mengumbar informasi pribadi yang barangkali kurang penting bagi mereka. Seperti sangat pribadinya informasi soal umur, penghasilan, maupun buang hajat.

Namun di sisi lain, tak ada salahnya berkomunikasi tentang sesuatu yang mungkin belum mereka ketahui selama ini.

Ini bukan tentang mimpi muluk syiar atau dakwah Islam, kok. Ini pun bukan soal dominasi si mayoritas terhadap inferior si minoritas. Cuma setitik pola pikir agar dapat menjembatani dua budaya yang berbeda. Bukankah inilah fungsi komunikasi; menihilkan praduga, salah persepsi, dan rasa curiga agar tercipta harmoni?

Apalagi sebentar lagi bulan Ramadhan. Selain fisik dan mental, saya dan kamu bisa jadi harus mempersiapkan bekal jawaban yang buwanyak untuk komunikasi interkultural lainnya. Misalnya, “mengapa Muslim harus berpuasa?” Hehe…

Editor
Tonny F
Sumber Berita
CNN

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker