Cerita tentang Parakanlima dan Pantangan Menikah dengan Tentara

Abadikini.com, PURWAKARTA – Peristiwa penyerangan Mataram ke benteng VOC di Batavia antara tahun 1628–1629 M membawa pengaruh cukup besar terhadap perkembangan daerah di sekitar Batavia dan Karawang, termasuk Purwakarta, Jawa Barat.

Di beberapa tempat muncul daerah-daerah atau perkampungan baru yang bersinggungan langsung dengan pasukan Mataram. Umumnya, setelah pasukan Mataram mengalami kegagalan dalam penyerangan tersebut. Salah satunya adalah Parakanlima, kini nama sebuah desa di Kecamatan Jatiluhur.

Menurut cerita rakyat setempat, sebelum pasukan Mataram menyerang Batavia, mereka membangun gudang-gudang perbekalan di sepanjang Sungai Cikao, yang melintasi daerah tersebut.

Pasukan Mataram dipimpin oleh lima orang ngabei yakni Rd. Ngabei Singawijaya, Rd. Ngabei Singadilaga, Rd. Ngabei Singadipura, Rd. Ngabei Singodimejo, dan Rd. Ngabei Singomenggolo, sehingga kemudian daerah tersebut dinamai Parakanlima. Ketika saatnya penyerangan ke Batavia tiba, kelima ngabei itu pergi meninggalkan Parakanlima dan tak pernah kembali lagi.

Menurut budayawan Purwakarta Budi Rahayu Tamsyah, kehadiran kelima ngabei tersebut di Parakanlima menyisakan kisah lain yang tak kalah menariknya. Salah seorang dari ngabei tersebut menikah dengan putri Patinggi Colobong, kampung yang berada di kawasan Parakanlima sekarang. Sayang, perkawinannya tak berlangsung lama.

“Karena sang ngabei harus pergi menunaikan tugasnya, bersama dengan pasukannya menyerang Batavia. Sebelum pergi, sang ngabei berjanji, akan kembali ke Colobong menemui istrinya,” ujar Budi.

Sang istri, putri Patinggi Colobong, dengan setia menanti suaminya kembali. Hari berganti hari, bahkan sampai berganti bulan, yang dinanti tak kunjung datang. Bosan menanti, sampai akhirnya sang istri turun cadu (berpantrang), dia dan anak keturunannya pantang menikah dengan tentara.

Konon, sampai sekarang masih ada sebagian orang setempat yang memegang pantangan tersebut. Pantang menikah dengan tentara, bahkan lebih jauh lagi, pantang menjadi tentara.

Tentu saja seiring perkembangan zaman, pantangan itu mulai memudar dan sebagian warganya telah mengabaikan pantangan tersebut. Apalagi, banyak warga Parakanlima yang berinteraksi dengan orang-orang berpemikiran modern di Ibu Kota Jakarta. Pantangan itu hanya dinilai sebagai bentuk legenda masa lalu.

Editor
Selly Pratiwi

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker