Mengakhiri Sebutan Kafir

Abadikini.com – Setiap kali menggelar musyawarah atau konferensi besar, Nahdlatul Ulama (NU) selalu menghasilkan kesepakatan yang menyejukkan. Tak cuma bagi para pengikutnya, kesepakatan itu juga membuat seluruh anak bangsa yang mencintai negeri ini merasa tenteram dan damai.

Pun demikian dengan Musyawarah Alim Ulama dan Konferensi Besar NU yang dihelat di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Banjar, Jawa Barat, mulai 27 Februari hingga kemarin. Ada banyak kesepakatan, tak sedikit rekomendasi yang dihasilkan dalam pertemuan para ulama itu. Seperti yang sudah-sudah pula, kesepakatan terarah pada terwujudnya model beragama yang rahmat dan peneguhan terhadap semangat kebangsaan.

Namun, yang paling menjadi sorotan kali ini ialah kesepakatan bahwa warga negara nonmuslim di Indonesia tidak boleh disebut kafir. Kesepakatan ini diambil dalam forum Bathsul Masail (Diskusi Keagamaan) Komisi Maudluiyah. NU berprinsip, meski berbeda agama dan keyakinan, warga nonmuslim ialah saudara sebangsa sehingga tidak semestinya disebut dengan sebutan yang menyakitkan.

Kesepakatan untuk tidak menyebut warga nonmuslim sebagai kafir sekaligus menjadi peneguhan kesetaraan warga negara dalam pandangan Islam Ahlus-Sunnah wal Jama’ah yang diusung NU. Dalam konsep negara bangsa, status mereka sama dengan umat muslim dengan hak dan kewajiban setara tanpa ada perbedaan kasta.

Kesepakatan untuk tidak menyebut warga nonmuslim sebagai kafir juga punya pijakan teologis yang kuat. Menurut para alim ulama NU, mereka tidak termasuk dalam kategori-kategori kafir dalam fikih, seperti muahad, dzimmi, dan harbi. Mereka tak layak dimusuhi karena bukan tergolong pihak yang mengganggu, mengancam, atau memusuhi umat muslim di Indonesia.

Menurut Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, tiada alasan untuk menyebut warga beda iman sebagai kafir. Terlebih, kata dia, sebutan kafir dipakai Nabi Muhammad ketika berada di Mekah untuk para paganis alias penyembah berhala. Ketika hijrah ke Madinah, Nabi pun tak lagi menyebut umat agama lain sebagai kafir, tetapi nonmuslim.

Harus kita katakan, di kalangan umat Islam di Indonesia, masih ada yang gemar menggunakan kata kafir untuk menyebut umat lain. Kata kafir, bahkan sering kali dilabelkan kepada kelompok atau individu yang berseberangan dengan ajaran yang mereka yakini. Tak peduli meski individu atau kelompok itu satu akidah, satu iman, sama-sama Islam.

Kita sepakat, amat sepakat, dengan kesepakatan yang disepakati NU untuk tidak menyebut saudara-saudara kita nonmuslim dengan sebutan kafir. Bagaimanapun, bagi sebagian atau bahkan seluruh warga nonmuslim, sebutan itu terasa menyakitkan.

Dalam kehidupan berbangsa, kata kafir punya konotasi buruk. Ia hanya  mempertebal sekat pemisah antarsesama anak bangsa karena agamanya berbeda. Kata kafir juga mengandung unsur kekerasan teologis. Atribusi kafir pun terkesan diskriminatif, padahal seluruh warga negara sama kedudukannya kendati berbeda agama.

Istilah kafir memang ada dalam ajaran Islam dan tak boleh dihilangkan. Ia merujuk pada orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya. Namun, akan lebih bijak jika sebutan itu tak serta-merta diucapkan untuk menyebut saudara-saudara kita yang beda iman. Terlebih jika istilah itu dikapitalisasi demi kepentingan politik seperti yang belakangan mengemuka di negara kita.

Dengan tidak menyebut warga nonmuslim sebagai kafir, NU telah memberikan contoh bagaimana seharusnya kita menjaga bangsa ini. Demikian pula dengan organisasi Islam terbesar lainnya, Muhammadiyah, yang sebelumnya berkomitmen untuk mengedepankan semangat beragama yang mencerahkan, cinta damai, cinta toleransi, dan cinta persaudaraan.

Dalam kehidupan berbangsa dengan beragam agama dan keyakinan, sudah semestinya setiap umat mengedepankan kesejukan serta menanggalkan sikap, ucapan, dan tindakan yang menyakiti umat lain.

Penyebutan kafir itu mengandung kekerasan teologis yang mesti diakhiri. Di bawah payung Pancasila, seluruh warga negara ialah setara, yang satu tak lebih unggul dari yang lain berdasarkan suku, etnik, bahkan agama.

Editor
Muhammad Saleh
Sumber Berita
mediaindonesia
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker